Jakarta (ANTARA News) - Para pemilik bangunan di kawasan Kota Tua, arsitek dan kontraktor tampak serius mendengarkan penjelasan konservator asal Australia, Bruce Pettman.

Di laboraturium Balai Konservasi Kota Tua, Jakarta, Rabu (10/9) itu, Bruce Pettman menunjukkan sampel kusen Museum Sejarah Jakarta yang dibangun abad ke-18.

Sampel tersebut telah diperbesar secara mikroskopik sehingga tampak warna hijau dan coklat yang berlapis-lapis.

"Warna coklat adalah kayu sedangkan yang hijau itu warna cat, dari variasi warna dapat disimpulkan warna cat kusen tidak pernah berubah, dan dari banyaknya lapisan kita bisa melihat berapa kali kusen ini telah dicat," kata Bruce Pettman.

Bruce hadir untuk memberikan ilmu koservasi bangunan tua pada Pelatihan Dasar Revitalisasi Bangunan Cagar Budaya yang diselenggarakan oleh UNESCO bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Setelah pengarahan, 30 peserta langsung praktik ke lapangan dibimbing oleh konservator Bruce Pettman, Joy Singh dan David Mansion dari AusHeritage dan beberapa pemandu dari Ikatan Arsitektur Indonesia.

Peserta dibagi menjadi tiga kelompok, satu kelompok menganalisis gedung Museum Sejarah Jakarta di Jalan Taman Fatahillah dan sisanya menganalisis Gedung Dasaad Musin di Jalan Cengkeh, Kota tua.

Tak lupa mereka dibekali beberapa lembar kertas strimin ukuran A3, helm, dan peta gedung-gedung tersebut.

Di Gedung Dasaad Musin, kelompok dipecah menjadi dua. Satu kelompok melakukan observasi di bagian luar gedung dan lainnya di dalam gedung.

Sebelum memulai praktik peserta diberi pengarahan oleh mentor bagaimana caranya mengidentifikasi kerusakan di gedung dengan tiga lantai itu. Setelah pengarahan barulah peserta dipersilahkan mengamati keadaan fisik gedung.

Teriknya matahari tidak mengganggu Sandya Restu yang menjadi salah satu peserta kegiatan tersebut. Ia sibuk mengamati kerusakan di sisi depan dan samping gedung Dasaad Musin.

"Dinding-dinding terkelupas itu harus tandai di kertas denah gedung, terus menghitung jumlah jendela yang tidak memiliki daun jendelanya. Oia atap gedung ini juga udah gak ada," kata dia sambil sibuk membolak balik denah.

Memang keadaan fisik gedung tersebut cukup parah. Gedung yang pernah dimiliki oleh Agus Musin Dasaad pada 1946-1958 kini sudah sedikit miring.

Dulunya Dasaad menggunakan bangunan ini sebagai tempat usahanya.

Tulisan Dasaad Musin Concern yang menjadi nama usaha Dasaad terukir di depan gedung, namun kini cat tulisan itu sudah pudar sehingga jika kita tidak teliti, tulisan itu tak terlihat.

Lantai dasar gedung Dasaad Musin ini digunakan sebagai tempat sholat dan toilet umum, sehingga peserta yang bertugas untuk menganalisis interior ruangan tidak dapat mengidentifikasi pada bagian tersebut maka mereka langsung mengidentifikasi lantai dua bangunan itu.

Saat memasuki gedung peserta harus berhati-hati menapaki tangga, karena tidak ada pegangan tangan dan sebagian tangganya telah hancur.

Sesampainya di lantai dua salah satu sisi dindingnya dipenuhi dengan gambar grafiti dan langit-langitnya telah keropos sehingga tulang-tulang penampangnya yang berkarat kelihatan.

Lantainya sudah turun dan miring serta ubinnya banyak pecah.

Bruce Pettman meminta peserta menulis singkat deskripsi gedung tersebut seperti alamat, tahun berdiri dan terdiri dari berapa lantai.

Danang Triatmoko dari Ikatan Arsitek Indonesia membantu para peserta untuk mengidentifikasi kapan gedung itu dibangun.

"Bangunan ini diperkirakan dibangun tahun 1920-an, karena sudah menggunakan teknik beton. Teknik beton ditemukan sekitar 1910-an," katanya.

Ia melanjutkan, untuk merestorasi gedung tua, maka perlu diambil sampel plester dinding, lalu diteliti untuk menentukan komposisinya karena plester pengganti juga harus mirip komposisinya.

"Prinsip memugar gedung itu adalah sebisa mungkin mengembalikan bangunan tersebut seperti aslinya," katanya dihadapan para peserta.

Joy Singh yang berada di lantai 3 mengidentifikasi bentuk dan warna kaca, ia mengatakan sisa kaca jendela bewarna kuning menjadi bukti bahwa bangunan itu berasal dari tahu 1920-an.

"Umumnya pada tahun 20-an orang-orang menggunakan kacar bewarna, itu sama seperti bangunan cagar budaya yang ada di Australia," katanya.

Ia juga menjelaskan dari bukti dinding yang terkelupas, plester terdiri dari pasir, batu kapur dan bata merah. Sehingga dinding lebih berpori dibandingkan dengan dinding bangunan masa kini.

Joy mengajarkan peserta bagaimana melihat lapisan plester yang sudah rusak atau yang masih kokoh.

"Kalian tinggal mengetuk besi ke dinding, lalu dengarkan suaranya. Kalau suaranya terdengar padu maka plesternya masih kokoh dan tidak perlu dibongkar, kalau suaranya terdengar kopong maka plesternya harus dibongkar," kata Joy.

Ia memperkirakan dinding di bangunan itu memiliki kadar garam yang tinggi karena tidak ada atap sehingga bangunan mudah terkontaminasi dengan udara luar.


Perkuat Struktur

Konservator asal Indonesia, Soesilojono mengatakan untuk membangun kembali bangunan tersebut harus memperkuat struktur bangunan karena bangunan itu sudah kerpos dan besi-besinya sudah berkarat.

"Kita harus memperkuat struktur bangunan ini dulu, baru setelahnya kita pasang atap sementara agar tidak kerusakan tidak bertambah parah," katanya.

Selain diajarkan mengidentifikasi kerusakan gedung, perserta diajarkan cara membersihkannya.

Aris Munandar, tenaga ahli konservasi material, memberikan materi cara membersihkan korosi pada besi.

"Cukup membersihkannya dengan air jeruk nipis, gosokkan pada besi yang berkarat nanti besinya akan bersih," katanya.

Ia juga memberikan informasi beberapa ramuan untuk membersihkan kotoran yang ada di dinding, seperti Hyamine untuk membunuh organisme, cairan Hyvar untuk membunuh tumbuhan yang merambat di dinding hingga ke akarnya, air tembakau untuk membersihkan kayu yang tidak dicat agar warnanya kembali seperti semula.

Lieke Kusumaida yang menjadi salah satu peserta pelatihan itu senang dapat mengikuti kegiatan tersebut.

"Aku jadi mendapat hal baru, bagaimana mengidentifikasi bangunan cagar budaya dan teknik konservasinya," kata Lieke yang kuliah di jurusan sejarah.

Oleh Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014