Jakarta (ANTARA News) - Seratusan penikmat seni spontan bertepuk tangan saat menyaksikan kepiawaian sembilan pemain kolintang membawakan lagu "Brasil" pada pembukaan pertunjukan "Kolintang: The Sound of Harmony" di Auditorium Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, Sabtu malam (27/9).

Sebagian menggoyangkan badan mengikuti harmoni bunyi dari alat musik pukul khas Minahasa yang terdiri atas bilah-bilah kayu yang disusun berderet pada bak kayu tersebut. 

Ada pula yang tampak duduk mematung, seksama memperhatikan para pemain musik memukulkan tongkat sekira sejengkal ke deretan bilah-bilah kayu kolintang.

Dan sekitar lima menit kemudian, setelah anggota Sanggar Bapontar selesai memainkan lagu "Brasil" yang berirama cepat, riuh tepuk tangan membahana di ruangan yang tempat duduknya didesain melengkung bertingkat tersebut.

Pada pertunjukan "Kolintang: The Sound of Harmoni", alat musik tradisional itu dimainkan mengiringi musikal berjudul "Pele Jalanku" (Tutup Jalanku), yang berkisah tentang perantau Minahasa di Jakarta serta tekad mereka untuk maju.

Kisah tentang kesulitan hidup yang memaksa seorang Minahasa meninggalkan tanah kelahiran mengalir bersama lagu yang mengalun bersama irama bunyi kolintang.

"Biar mama, biar Papa pele jalanku, di muka mama, di muka papa saya berangkat (walau mama dan papa menghalangi jalanku, di depan mama dan papa saya berangkat)," demikian sebagian lirik lagu yang dimainkan dengan iringan kolintang, menggambarkan spirit orang Minahasa untuk maju.

"Kolintang adalah jati diri orang Minahasa yang ulet dan dinamis," kata pemilik Sanggar Bapontar, Beiby Sumanti.


Semula hanya tong-ting-tang


Pada masa lampau, sebelum alat musik itu disebut kolintang, Suku Minahasa menyebut tong untuk nada rendah, tang untuk nada rendah dan ting untuk nada tinggi.

Orang biasanya akan berujar, "Mari kita bertong-ting-tang", untuk mengajak kawan memainkan alat musik tersebut. Dalam bahasa setempat alat musik itu lalu disebut "meimo kumolintang", dan kemudian kolintang.

Kolintang klasik satu melodi hanya memiliki jarak nada dua oktaf dan menjadi pengiring alat musik string, ukulele maupun string bass. Namun sekarang bisa mencapai enam oktaf.

Memainkan alat musik khas Minahasa  ini  akan disebut lengkap apabila ada sembilan jenis alat, antara lain jenis bass yang disebut loway, selo atau sela; tenor satu atau karua; tenor dua atau karua-rua.

Lalu ada alto satu yang disebut uner; alto dua atau uner dua; alto tiga atau katelu; serta pengiring atau melodi satu yang disebut ina esa, melodi dua atau ina rua, dan melodi tiga ina taweng.

Setiap alat musik tradisional itu mengeluarkan bunyi berbeda satu sama lain ketika dipukul dan akan menghasilkan harmoni suara merdu ketika dibunyikan bersama.

Kolintang biasanya dimainkan untuk upacara tradisional Minahasa seperti perkawinan atau prosesi "nae rumah baru" (ungkapan syukur setelah membangun rumah).

Di Sulawesi, kolintang biasanya dibuat dari kayu Cempaka yang sudah dikeringkan selama sekitar satu bulan, lalu dipotong menjadi bilah-bilah dan diserut.

Sementara di Jakarta, menurut perajin dan pelatih kolintang Andre Sumual, kolintang biasanya dibuat dari kayu Waru, yang pohonnya banyak tumbuh di Pulau Jawa.

"Kualitasnya juga tak jauh beda dengan kayu Cempaka," kata Andre.

Ia menjelaskan pula bahwa sekarang perajin kolintang masih banyak di Kota Tomohon dan Kabupaten Minahasa Utara.

"Kabupaten dan kota lainnya terus didorong agar lebih berkembang lagi," tambah Beiby.

Alat musik tradisional itu juga telah menyebar ke wilayah lain di Indonesia, termasuk di antaranya DKI Jakarta, tempat kolintang dimainkan dalam berbagai acara, termasuk acara kenegaraan.

"Alat musik kolintang ini bisa klop dengan beragam irama. Bisa waltz, oldies, rock n roll bahkan musik cepat sekalipun seperti lagu berjudul Brasil tadi. Bahkan bisa juga dimainkan bersama-sama dengan alat musik lainnya," kata Beiby.

Sekarang Beiby membina grup-grup kolintang dewasa dan anak-anak di Jakarta dan punya harapan besar permainan alat musik itu terus berkembang di setiap generasi.

Oleh Karel A Polakitan
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014