Jakarta (ANTARA News) - Temuan terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI Denny JA) menyebutkan mayoritas publik atau 77,25 persen reponden khawatir dengan fenomena politik saat ini, hanya 17,46 persen responden menyatakan tidak khawatir dengan fenomena ini, dan sisanya 5.29 persen tidak menjawab.

Peneliti LSI denny JA, Adjie Alfaraby kepada pers di Jakarta, Kamis, mengatakan, temuan tersebut berdasarkan hasil survei LSI pada 6--7 Oktober 2014 di 33 provinsi melalui "quick poll" . Survei menggunakan metode multistage random sampling dengan 1.200 responden dan margin of error sebesar +/- 2,9  persen. Survei juga dilengkapi penelitian kualitatif dengan metode analisis media, FGD dan in depth interview.

Adjie menjelaskan, kekhawatiran publik terhadap fenomena politik itu merata di semua segmen masyarakat. Rata-rata di semua segmen masyarakat, tingkat kekhawatiran terhadap kondisi pemerintahan ini berkisar di antara 73  persen sampai 87 persen. Namun publik yang perpendidikan tinggi, tinggal di kota, tingkat ekonomi menengah atas dan laki-laki lebih khawatir dengan kondisi politik ini dibandingkan dengan mereka yang tinggal di desa, wong cilik, perempuan, dan berpendidikan rendah.

"Publik yang tinggal di kota, berpendidikan tinggi dan berekonomi menengah atas lebih banyak mengakses berita politik dari berbagai jenis media (termasuk media sosial) sehingga kekhawatiran mereka lebih tinggi," katanya.

Selain itu, publik laki-laki lebih tinggi prosentasenya yang khawatir dengan kondisi pemerintahan ini dibanding publik perempuan, karena umumnya lak-laki memiliki intensitas lebih tinggi mengikuti berita politik dan mendiskusikannya.

Adjie menyatakan, mengapa publik khawatir dengan kondisi pemerintahan saat ini? Dari hasil riset kualitatif, yaitu melalui in-depth interview dan focus group disscussion (FGD) ada dua alasan utama yang paling mengemuka.

Pertama, publik khawatir pemerintahan baru Joko widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) tak bisa fokus bekerja mengurus rakyat karena tak didukung oleh parlemen yang dikuasai oleh koalisi oposisi. Fungsi kontrol, legislasi, dan anggaran (budgeting) yang dimiliki DPR, mengharuskan pemerintah memperoleh dukungan parlemen. Belum lagi pemilihan jabatan-jabatan kenegaraan lainnya yang harus memperoleh persetujuan DPR (misalnya pemilihan Kapolri, Panglima TNI, dan lainnya).

Kedua, publik khawatir dengan kondisi politik 5 tahun mendatang yang hanya akan dipenuhi oleh konflik politik elit. Publik inginkan konflik elit, yang seperti gamblang terlihat dalam pemilihan pimpinan DPR dan MPR , segera berakhir. Publik inginkan pemerintah dan DPR dapat bekerja sama dalam mengurus rakyat. Sehingga kondisi politik Indonesia dalam 5 tahun mendatang tidak gaduh dan stabil.

Oleh karena itu, kata Adjie, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Jokowi harus mengambil langkah-langkah strategis dan cepat untuk bisa mengubah konstelasi politik.

LSI merekomendasikan tiga hal untuk mengubah konstelasi politik saat ini, pertama, semua pendukung dan pimpinan partai Koalisi Indonesia Hebat secara gradual benar-benar menjadikan Jokowi sebagai "komando tertinggi".

Kedua, dengan insentif politik yang dibolehkan dalam sistem demokrasi, Jokowi dan KIH harus secepatnya merangkul dua partai politik lagi untuk bergabung dengan koalisi pemerintahan, agar koalisi Jokowi menguasai mayoritas legislatif.

Ketiga, harus ada komunikasi dan kerjasama politik antara dua tokoh penting yaitu Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. (*)

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014