Jakarta (ANTARA News) - Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko mempertanyakan mengenai denda bagi pesawat asing yang masuk ke wilayah Indonesia yang hanya dikenakan denda Rp60 juta, padahal seharusnya denda yang diterapkan adalah Rp2 miliar.

"Dalam pasal 414 UU No 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, bahwa sudah jelas hukuman 2 tahun denda Rp2 miliar, tapi kenapa hanya dikenakan denda Rp 60 juta," kata Moeldoko di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 dalam pasal 414 berbunyi setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Untuk memaksimalkan hukuman bagi para pelanggar, Moeldoko mengaku akan mengkaji dan mempelajari lebih jauh undang-undang yang diterapkan bagi para pelanggar, sehingga hukuman yang diberikan memberikan efek jera bagi para pelanggar.

"Tapi semuanya dari kita sepakat para pelanggar itu harus dihukum dengan tegas biar jera dia jangan seenaknya," tegas mantan KSAD itu.

Di sisi lain, Moeldoko bersyukur atas kecanggihan teknologi radar yang dimiliki Indonesia saat ini. Tertangkapnya pesawat asing tidak lepas dari kemajuan teknologi radar yang ada saat ini.

"Yang paling utama, pasukan kita sekarang ini bisa mendeteksi atas pelanggarannya. Karena radar kita sudah mulai bagus, celah-celah itu sudah bisa ditutup sehingga setiap pelanggaran wilayah pasti ketahuan, setiap pelanggaran udara pasti ketahuan. Ini sudah suatu kemajuan yang signifikan bagi TNI," katanya.

Meski akan bertindak tegas pada para pelanggar, Moeldoko tetap mengedepankan cara diplomasi. Terlebih, saat dilakukan pemeriksaan, tidak ada unsur ancaman serius bagi negara.

"Karena setiap pelanggaran, laut udara maupun darat kita laporkan. Kita sampaikan ke Kemenlu untuk dilakukan proses. Itu yang kita lakukan, karena kita sedang tidak bermusuhan dengan negara tetangga, tolong dipahami, kita tidak sedang bermusuhan dengan negara tetangga. Sehingga kalau ada pelanggaran low impact seperti itu maka upaya diplomatik dikedepankan," kata Panglima TNI.

Moeldoko mengatakan, pihaknya tengah mengajukan draf agar aturan yang melarang mereka ikut proses penyelidikan bisa direvisi. TNI, khususnya TNI AU ingin dilibatkan dalam proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran di wilayah udara.

"Semestinya perlu ada aturan UU yang baru ya. Seperti pelanggaran di laut penyidiknya AL, pelanggaran di udara penyidiknya di AU, harusnya dilibatkan," ujarnya.

Pelanggaran di wilayah udara Indonesia saat ini diurus oleh PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) autoritas bandara Kemenhub. Padahal untuk di laut, TNI AL ikut terlibat dalam penyelidikannya. Kesenjangan aturan ini yang membuat Panglima TNI meminta agar TNI AU dilibatkan.

"Faktanya (TNI AU) belum dilibatkan, nanti harus disesuaikan undang-undangnya," kata Moeldoko.

Kapuspen TNI Mayjen TNI Fuad Basya menjelaskan TNI AU perlu dilibatkan dalam proses penyelidikan kasus pelanggaran di wilayah udara agar ada proses pertanggungjawaban ke depannya, sehingga tidak hanya sekedar proses administrasi belaka.

"Di laut angkatan laut ikut menyidik, tapi di udara tidak. AU hanya sampai force down, diperiksa apakah ada keterkaitan dengan ancaman keselamatan atau tidak kalau tidak diserahkan ke PPNS. Harusnya ikut juga, karena pelanggaran udara yang nangkap AU," kata Fuad.

"Kalau AU dilibatkan Panglima TNI bisa nuntut kenapa kok begini, sekarang kan dilepas Rp 60 juta (akhirnya) Panglima TNI lepas (urusan) saja, karena bukan kewenangan kita di dalam. Nah itu yang sekarang sedang kita ajukan. Seharusnya AU dilibatkan, seperti halnya di laut," sambungnya.

Fuad pun yakin Menteri Pertahanan akan mendukung langkah kebijakan yang diharapkan oleh Panglima TNI. Namun demikian, keputusan mengenai deregulasi terkait permasalahan ini tetap ada di tangan DPR dan pemerintah.

Pada 3 November lalu, TNI Angkatan Udara (AU) memaksa sebuah pesawat jet carteran mendarat di Pangkalan Angkatan Udara El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Komandan Pangkalan Udara El Tari, Kolonel (Pnb) Andi Wijaya, mengatakan, pesawat asal Arab Saudi itu terbang tanpa izin lengkap.

TNI AU mengerahkan dua pesawat Sukhoi yang bermarkas di Lanud Hasanuddin Makassar untuk mengejar jet itu hingga ke Lanud El Tari.

Posisi pesawat asing itu terdeteksi di 82 mil atau 150 kilometer dari Kupang atau sekitar 60 derajat dari Kupang. Jet berpenumpang 13 orang tersebut kemudian dilepaskan setelah membayar denda Rp 60 juta dan melengkapi administrasi.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2014