Jakarta (ANTARA News) – Proses penyelesaian Warga Negara Indonesia undocumented atau WNI yang belum memiliki dokumen jatidiri, tidak boleh menciptakan diskriminasi seperti surat bukti kewarganegaraan RI (SBKRI) bentuk baru. 

“Kebijakan penyelesaian pemukim WNI undocumented yang turun temurun jangan menciptakan SBKRI bentuk baru,” kata Slamet Effendy Yusuf, mantan ketua panitia khusus  UU Kewarganegaraan No 12/2006 di Jakarta, Sabtu.

Menurut Slamet, pemerintah harus segera menyelesaikan masalah WNI undocumented yang diduga jumlahnya sekitar 100 ribu orang.

Slamet yang juga Ketua Umum Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) mengemukakan awal pekan ini pihaknya melakukan pertemuan dengan Kementerian Hukum dan HAM untuk membahas penyelesaian WNI undocumented.

Pihak pemerintah ketika itu diwakili oleh Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Harkristuti Harkrisnowo dan jajarannya.

Pertemuan tersebut menurut Slamet menghasilkan rekomendasi untuk kebijakan umum bahwa pemukim yang lahir dan turun-temurun tinggal di Indonesia adalah WNI dan dilayani sebagai warga Negara Indonesia.

Pemukim yang termasuk kriteria WNI undocumented juga harus tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri, dan tidak memiliki paspor asing.
 
"Pemerintah harus mencari mereka, menemukan, dan memberikan hak mereka. Di sisi lain, pemukim juga harus berani muncul, tidak 'sembunyi' lagi," kata Slamet.

Dia mengemukakan penyelesaian masalah WNI undocumented adalah ketika mereka mendapatkan bukti kewarganegaraan yaitu akta kelahiran.

Hal senada juga disampaikan penasihat IKI yang juga mantan Menteri Hukum dan HAM Prof DR Hamid Awaludin SH.

"Orang-orang dengan kriteria seperti itu sesungguhnya adalah warga Negara Indonesia, sehingga harus segera dilayani penerbitan dokumen kependudukannya agar persoalan ini tuntas," kata Hamid.
 
Pada kesempatan yang sama, Ketua III IKI Saifullah Mashum  mengatakan “WNI undocumented selama ini belum terlayani dokumen-dokumen jatidirinya sebagai WNI dan selama ini mereka didiskriminasi dalam pelayanan publik.” 

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014