Kelompok radikal itu sering berbeda nama dan cara, tapi bentuk dan ajarannya dapat dipastikan sama, apakah Al Qaeda, ISIS, Jamaah Islamiyah, atau lainnya,"
Surabaya (ANTARA News) - Wakil Ketua Umum PBNU Dr KH Asad Said Ali menegaskan bahwa NU memiliki peran strategis dalam mengatasi aksi radikalisme, karena pendekatan ulama lebih bisa diterima kelompok radikal daripada pendekatan polisi/militer.

"Kelompok radikal itu sering berbeda nama dan cara, tapi bentuk dan ajarannya dapat dipastikan sama, apakah Al Qaeda, ISIS, Jamaah Islamiyah, atau lainnya," katanya dalam bedah buku karyanya di Surabaya, Jatim, Sabtu.

Dalam bedah buku bertajuk "Al-Qaeda: Tinjauan Sosial-Politik, Ideologi, dan Sepak Terjangnya" dengan tiga pembanding yakni KH Agoes Ali Masyhuri (Wakil Rais Syuriah PWNU Jatim), Mashuri Malik (kader penggerak PWNU Jatim), dan Ikhwanul Qosim (tokoh pers), ia mengatakan Al-Qaeda itu hakekatnya perlawanan.

"Al-Qaeda itu merupakan kelompok perlawanan terhadap negara X yang disponsori negara Y, lalu kelompok perlawanan dari beberapa negara itu dilatih di Afghanistan dengan dibumbui jihad yang dimaknai dengan perang," ucapnya.

Menurut dia, Indonesia sempat dimintai mengirim personel untuk bergabung dengan kelompok perlawanan yang sudah dilatih itu, namun Indonesia lebih memiliki pendekatan politis, meski akhirnya ada kelompok perseorangan dari Indonesia yang berangkat ke Afghanistan.

"Penolakan kita ternyata tepat, karena jalan tengah yang dipilih itu membuahkan hasil. Misalnya, intelijen Korea pernah minta tolong Indonesia untuk membebaskan 23 warganya yang ditawan Kelompok Taliban pada tahun 2007," ungkapnya.

Menanggapi permintaan itu, dirinya saat menjabat Wakil Kepala BIN pun meminta tolong warga NU yang ada di dekat wilayah Taliban untuk membantu. "Saat itu ada pengurus Ansor NU yang mau dan dia menyamar jadi Jamaah Tabligh dan diterima," tuturnya.

Hal yang sama juga dilakukan saat pelepasan wartawan Meutya Hafid. "Penyelesaiannya juga sama, hubungan antarulama mampu diterima kelompok radikal di sana, jadi bukan dengan pendekatan kepolisian atau militer," tukasnya.

Oleh karena itu, NU memiliki peran strategis dalam mengatasi radikalisme di dunia dan di Indonesia sendiri, misalnya, Kelompok Jamiyah Islamiyah masih mau mendengar para ulama NU yang moderat daripada kelompok aparat penegak hukum.

Sementara itu, Ketua PWNU Jawa Timur KH Hassan Mutawakkil Alallah menyambut baik acara bedah buku ini. "Ada tiga alasan yang membuat bedah buku karangan KH. Asad Said Ali ini istimewa," katanya.

Alasan pertama karena penulisnya merupakan salah satu tokoh organisasi keagaman terbesar di dunia yang moderat. Kedua, momentumnya yang pas, karena dunia Islam internasional sedang fokus mengamati perkembangan Islam Ahlussunnah wal Jamaah.

"Ada keinginan dunia bahwa Islam yang dipraktikkan kaum nahdliyin dijadikan platfom pembangunan Islam internasional, karena ingin menciptakan perdamaian di antara beragamnya pemeluk agama dan aliran," paparnya.

Alasan ketiga, buku ini ditulis atas data akurat dan analisis yang tajam. Selain itu, data yang diangkat juga berdasarkan pengalaman penulis dan dialog antarras, suku, agama, karena itu kualitas buku itu tak patut diragukan sedikitpun.

Acara bedah buku itu dihadiri oleh sekitar 22 PWNU se-Indonesia dan 42 pengurus cabang NU se-Jatim. Turut hadir pula, Rois Am PBNU KH. Ahmad Mustofa Bisri, Ketua Umum PBNU Prof Dr KH. Said Aqil Siroj MA, Menpora Imam Nahrawi, Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf, dan mantan Mendikbud Mohammad Nuh.

Pewarta: Edy M Yakub
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014