Sudah cukup buat saya bekerja di Malaysia, saya mau pulang dan bertani saja
Jakarta (ANTARA News) - Lima pesawat jenis Hercules TNI AU mendarat dengan mulus di landas pacu Lapangan Udara Militer Subang, Malaysia, saat matahari pada akhir Desember diselimuti awan mendung.

Kedatangan mereka bukan untuk perang, melainkan mengemban sebuah misi kemanusiaan untuk menjemput para tenaga kerja migran yang kerap disebut "pahlawan devisa".

Dari dalam bus yang bergerak perlahan, ratusan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) menatap dengan beragam raut wajah. Ada yang terlihat sendu, muka tertunduk, dan banyak juga yang senyum sumringah saat berjalan memasuki jemputan mereka.

Inilah akhir perantauan mereka di negeri jiran karena sesaat lagi mereka akan dideportasi karena menyandang cap TKI bermasalah. Di dalam lambung burung besi Hercules, beragam kisah sedih dan senang para TKI seakan "tumpah" selama perjalanan pulang ke Indonesia.

"Perasaan senang, sedih, campur aduk. Saya seperti bermimpi bisa pulang dijemput naik pesawat," kata Saninari, TKI ilegal asal Jember, Provinsi Jawa Timur.

Wanita mungil berambut panjang itu merupakan salah satu dari ratusan TKI bermasalah yang dideportasi hari itu. Ia mengaku sudah 14 tahun bekerja di Malaysia, mulai dari bekerja di perkebunan karet hingga menjadi buruh bangunan.

Ia bercerita cukup banyak TKI dari kaum hawa yang bekerja di sektor konstruksi, seperti menjadi pengaduk semen dan memasang keramik, sesuatu hal yang langka ditemukan di Tanah Air. Upah kerjanya lumayan besar berkisar 60-80 ringgit Malaysia per hari, sehingga tiap bulan mereka bisa mengirim sekitar Rp10 juta ke kampung halaman dengan asumsi per satu ringgit Rp3.500.

"Saya tertangkap razia karena sudah dua tahun tidak mengurus izin kerja di Malaysia," ujarnya.

Saninari pun sempat merasakan tiga bulan di dalam penjara Kajang, merasakan betapa tidak enaknya hidup di tahanan. Selama di tahanan yang ada di benaknya hanya ingin bertemu putri mungilnya di kampung halaman. Impiannya kini akan terwujud dan ia mengaku tak bisa menahan tangisnya saat menerima kabar rencana pemulangan dari imigrasi setempat.

"Saya menangis sekencang-kencangnya di depan orang imigrasi. Sudah cukup buat saya bekerja di Malaysia, saya mau pulang dan bertani saja," katanya.

Ia berharap pemerintah Indonesia bisa seterusnya konsisten membantu warga negara yang masih tersangkut hukum sebagai TKI ilegal. Menurut dia, sebagian besar TKI bermasalah karena ketidaktahuan mereka tentang prosedur kerja yang sah, dan banyak juga yang menjadi korban penipuan agen tenaga kerja yang memberikan izin kerja palsu.

"Masih banyak teman-teman kita berada di penjara dan tahanan imigrasi. Saya mohon Pak Presiden Jokowi (Joko Widodo) segera membantu mereka, karena nasibnya sangat kasihan di sana," katanya.

Tidak ada yang memungkiri bahwa TKI merupakan "pahlawan devisa" bagi negara. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat kiriman uang TKI (remitansi) dari hasil bekerjanya di luar negeri yang dikirim ke tanah air dari Januari hingga September 2014 mencapai Rp77,47 triliun, atau tepatnya 6.198.030.793 dolar AS dengan asumsi per satu dolar senilai Rp12.500.

Remitansi TKI selama lima tahun terakhir dari 2010 hingga 2014 cenderung meningkat. Tahun 2010 tercatat sebesar Rp60,766 triliun, naik setahun setelahnya menjadi Rp61,390 triliun, kemudian Rp67,867 triliun pada 2012, naik lagi sebesar Rp90,360 triliun pada 2013, sedangkan tahun 2014 hingga bulan September sebesar Rp77,47 triliun.

Kiriman uang TKI dari Malaysia mencapai sekitar Rp23,87 triliun dan merupakan yang paling tinggi dari kawasan Asia-Pasifik hingga September ini. Meski begitu, jumlah TKI yang bermasalah di Malaysia juga tidak sedikit.

Salah satu TKI ilegal yang menjadi korban penipuan adalah Fitri Sabarman asal Aceh. Pria berusia 24 tahun ini mengaku terpaksa mengadu nasib ke Malaysia untuk membayar utang setelah kalah bertarung sebagai calon anggota dewan dari Partai Demokrat pada Pemilu Legislatif lalu.

"Saya frustasi karena tak punya uang untuk bayar utang. Karena ada kawan sekampung yang sudah lama bekerja di Malaysia menawari bekerja, ya saya ikut saja," katanya.

Ia mengatakan telah membayar sekitar Rp2 juta kepada temannya untuk pembuatan paspor, ongkos jalan, dan mengurus izin kerja di Malaysia. Namun, hingga tiga bulan bekerja sebagai buruh konstruksi di Malaysia, kawannya ternyata menghilang dan Fitri hanya bisa pasrah ketika terjaring razia polisi Malaysia. Alhasil, ia pun mendekam di penjara setempat selama tiga bulan.

"Di penjara sangat menderita. Uang hasil kerja saya yang rencana untuk membayar utang dan semua barang disita polisi. Tinggal ada sehelai baju tersisa yang saya pakai di badan ini," ujarnya.

Meski begitu, ia mengaku selama di penjara mendapat hidayah untuk lebih tekun beribadah sebagai seorang Muslim. "Saya juga dapat pelajaran untuk hati-hati mencari kawan, karena kawan sejati adalah mereka yang ada saat kita susah," katanya.

TKI korban penipuan lainnya adalah Siti Faiseh asal Surabaya, Jawa Timur. Gadis bertubuh gempal ini tertipu oleh agen pekerja yang menjanjikan bisa mengurus izin kerja buruh migran. Ironisnya, agen tersebut direkomendasikan oleh temannya sesama TKI namun ternyata izin kerja yang didapatkannya palsu.

Padahal, Siti sudah merogoh kocek 4.000 ringgit atau setara Rp14 juta, yang artinya hampir dua kali lipat dari biaya pembuatan izin resmi sebesar 2.500 ringgit. "Saya sebenarnya mau taat aturan, tapi untuk membedakan agen yang benar dengan yang palsu itu saya tidak tahu," katanya.

Wakil Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Herwanto, yang ikut bersama rombongan pemulangan TKI ilegal di Hercules mengatakan selama 2014 sudah ada sekitar 70 ribu TKI bermasalah yang dideportasi dari Malaysia. Jumlah TKI legal di Malaysia ada sekitar 1,3 juta orang, namun jumlah yang ilegal tidak bisa didata secara pasti.

"Devisa negara yang dihasilkan dari Malaysia paling besar karena jumlah TKI yang sangat banyak. Sebenarnya pemerintah Malaysia membutuhkan tenaga kerja kita karena mana mau orang asli bekerja dengan upah rendah di sektor perkebunan dan konstruksi. Bahkan, 80 persen pekerja bangunan di Malaysia adalah orang kita," katanya.

Menurut dia, pemerintah Indonesia sudah terus berupaya untuk membenahi agar setiap TKI bekerja sesuai aturan yang berlaku. Namun, permintaan tenaga kerja yang tinggi dari Malaysia sangat besar dan banyak majikan yang mempekerjakan TKI bermasalah tidak tersentuh hukum.

Karena itu, ia menilai kedua negara perlu menjaga komitmen untuk membina tenaga kerja, menertibkan agen penipu, dan menjatuhkan hukuman kepada majikan yang mempekerjakan TKI ilegal. "Selama 2014 ini baru 508 majikan yang dihukum. Seharusnya lebih banyak yang dihukum," katanya.

Menurut dia, pemerintah Malaysia sebenarnya memiliki aturan yang cukup tegas kepada majikan yang mempekerjakan TKI ilegal. Apabila majikan kedapatan menggunakan TKI ilegal di bawah lima orang, maka akan dijatuhi sanksi denda sebesar 50 ribu Ringgit Malaysia atau setara Rp175 juta, atau satu tahun hukuman kurungan.

"Kalau lebih banyak mempekerjakan TKI bermasalah, hukumannya bisa dua kali lipat," ujarnya.

Setiap TKI yang membanting tulang di negeri orang tentu tidak berharap tanda jasa sebagai pahlawan devisa. Mereka hanya ingin Pemerintahan Presiden Joko Widodo mengayomi dan membekali mereka dengan pengetahuan agar bisa bekerja dengan legal di perantauan.
(F012)



Oleh FB Anggoro
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014