Mafia pupuk ini adalah masalah serius yang harus segera ditangani pemerintah dan untuk musim tanam ke depan tidak boleh lagi terjadi."
Jakarta (ANTARA News) - Koperasi Unit Desa (KUD) diragukan mampu menyalurkan pupuk bersubsidi kepada petani mengingat citranya hingga saat ini sudah terlanjur buruk, kata pengamat ekonomi koperasi Suroto.

"Ibarat image, KUD itu sudah buruk dan masyarakat juga tidak banyak yang percaya lagi. Kondisinya saat ini juga sudah banyak yang mati suri," kata Suroto di Jakarta, Sabtu.

Oleh karena itu, ia meragukan kemampuan KUD untuk bisa mengambil alih kembali pendistribusian pupuk bersubsidi kepada petani baik sebagai agen maupun pengecer.

Menurut dia pendistribusian pupuk melalui KUD seperti pada era Orde Baru nyatanya tidak semulus yang dibayangkan, karena faktanya justru menghadapi kendala akibat kelembagaan KUD tidak dibangun dengan baik.

"Buktinya banyak pengurusnya yang hanya bermain mata dengan para pengusaha dan menjual delivery order (DO). Ini tidak boleh terjadi lagi dan sebaiknya dibentuk saja koperasi pertanian," katanya.

Suroto berpendapat fungsi koperasi pertanian itu penting untuk menjadi penyalur pupuk dan saprotan, sekaligus meningkatkan konsolidasi lembaga petani.

"Polanya bisa mencontoh Jepang, koperasi pertanian Zen Noh di sana bahkan menjadi koperasi terbesar di dunia," katanya.

Ia menambahkan, kalau pemerintah masih ingin mengalokasikan subsidi untuk petani, maka sebaiknya dananya dikelola oleh organisasi petani sendiri.

Kelompok tani (poktan) yang ada idealnya diintegrasikan dalam koperasi pertanian milik petani, katanya.

"Kementerian Pertanian bersama Kementerian Koperasi dan UKM sebaiknya bersinergi. Kementerian Pertanian menangani soal peningkatan produktivitas dan pendapatan petani. Sementara Kementerian Koperasi dan UKM berusaha untuk mengurusi kelembagaan petaninya melalui pembentukan koperasi pertanian," katanya.

Suroto memantau hingga kini mekanisme distribusi pupuk bersubsidi di Indonesia saat musim tanam selalu saja semrawut.

Selain Harga Eceran Tinggi (HET) yang lebih tinggi dari kebijakan harga subsidi Pemerintah, juga terjadi kelangkaan di berbagai daerah.

"Sebut saja misalnya di Banyumas, harga pupuk urea yang seharusnya per 50 kg sebesar Rp90.000 menjadi Rp115.000. Itu pun barangnya sulit didapatkan," katanya.

Hal itu, kata dia, sebetulnya sudah terjadi sejak lama dan menjadi salah satu sebab hilangnya motivasi petani untuk bercocok tanam dan menjadikan penguasaan lahan petani di Indonesia yang semakin menyusut drastis hingga tinggal 0,23 hektare perkapita keluarga petani.

Ia mengatakan kesalahan mendasarnya akibat pupuk yang merupakan barang publik (public goods) diserahkan kepada swasta.

"Sementara disparitas harga dari pupuk bersubsidi sangat besar. Motivasi perusahaan swasta yang semata ingin mengejar keuntungan pasti akan menjual pupuk ke industri. Dengan sendirinya sistem tersebut ciptakan moral hazard," katanya.

Nilai subsidi pupuk sendiri pada 2015 dinaikkan hingga hampir 100 persen menjadi Rp35,7 triliun.

"Mafia pupuk ini adalah masalah serius yang harus segera ditangani pemerintah dan untuk musim tanam ke depan tidak boleh lagi terjadi," katanya.

Pewarta: Hanni Sofia Soepardi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015