Kami akan berkomunikasi dengan presiden apakah bisa menggunakan kekuatan lain kalau memang tidak ada jaminan teman-teman di Kepolisian sendiri bisa membantu KPK"
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertimbangkan untuk meminta bantuan TNI dalam menghadirkan saksi-saksi dalam penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait transaksi-transaksi mencurigakan dengan tersangka mantan Kepala Lembaga Pendidikan Polri (Lemdikpol) Komisaris Jenderal Pol Budi Gunawan.

"Kami akan berkomunikasi dengan presiden apakah bisa menggunakan kekuatan lain kalau memang tidak ada jaminan teman-teman di Kepolisian sendiri bisa membantu KPK," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto di gedung Ombudsman Jakarta, Kamis.

KPK sendiri sudah memanggil 10 orang saksi yang sebagian besar anggota aktif Polri, namun hanya satu orang yang memenuhi panggilan, yaknni Widyaiswara Utama Sekolah Pimpinan Lemdikpol Polri Irjen (Purn) Syahtria Sitepu.

Bambang mengatakan, permintaan bantuan kepada TNI itu akan dilakukan dengan berhati-hati.

"Pasti KPK harus sangat berhati, sesuai dengan aturan, tidak mau gegabah," ungkap Bambang.

KPK juga sudah berkomunikasi dengan Wakapolri Komjen Pol Badrodin Haiti mengenai upaya menghadirkan saksi yang dipanggil KPK.

"Kepada Waka(polri) kemarin sudah ada komunikasi, bersama-sama tapi isunya lain. Kalau tidak salah sudah ada diskusi dengan Kompolnas dan Waka. Kita akan menanyakan komitmen dan kesediaan itu," tambah Bambang.

KPK sudah mengantongi informasi mengenai perintah melarang saksi datang memenuhi permintaan KPK.

"Kami sedang mengklarifikasi katanya ada TR (telegram rahasia) yang (menyatakan) Waka (Polri) itu setuju untuk dipanggil, lalu ada TR lain yang menyatakan tidak perlu datang," tambah Bambang.

Dia menilai, jika sudah ada perintah untuk melarang saksi datang, maka pemberi perintah dapat dikenakan pasal menghalang-halangi penyidikan.

"Jadi kalau betul ada informasi seperti itu, berarti memang pelanggaran sebagaimana unsur-unsur pasal 21, 22, 23 UU Tindak Pidana Korupsi yaitu hal-hal yang menghalangi proses penyidikan, tapi sekali lagi kami sedang mengklarifikasi hal itu," jelas Bambang.

Saksi-saksi yang dipanggil tapi tidak memenuhi panggilan adalah Direktur Penyidikan Pidana Umum Badan Reseserse Kriminal Polri Brigjen Pol Drs Herry Prastowo; dosen utama Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian Kombes Pol Drs Ibnu Isticha; mantan Kepala Biro Perencanaan dan Administrasi Inspektorat Pengawasan Umum Polri Brigadir Jenderal (Purn) Heru Purwanto; mantan Wakil Inspektorat Pengawasan Umum Mabes Polri Inspektur Jenderal Pol Andayono yang sekarang menjabat Kapolda Kalimantan Timur; Wakil Kepala Polres Jombang, Kompol Sumardji; Aiptu Revindo Taufik Gunawan Siahaan; Widyaiswara Madya Sespim Lemdikpol Brigadir Jenderal Pol Budi Hartono Untung yang adalah mantan Kapolda Bangka Belitung; anggota Polres Bogor Brigadir Polisi Triyono dan pihak swasta Liliek Hartati.

Hari ini KPK juga memeriksa mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari fraksi Partai Hanura Susaningtyas NH Kertopati yang juga sepupu Budi Gunawan, seorang ibu rumah tangga Sintawati Soedarno Hendroto dan pegawai negeri sipil Tossin Hidayat.

Susaningtyas diketahui tidak dapat memenuhi panggilan karena sedang diare.

Budi Gunawan diduga terlibat dalam transaksi-transaksi mencurigakan sejak menjabat Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumber Daya Manusia di Mabes Polri 2003-2006 dan jabatan lainnya di Mabes Polri.

KPK menyangkakan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan berdasarkan pasal 12 huruf a atau b pasal 5 ayat 2 pasal 11 atau pasal 12 B UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan terkait jabatannya.

Bila terbukti melanggar pasal tersebut dapat dipidana penjara seumur hidup atau penjara 4-20 tahun kurungan ditambah denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015