Jakarta (ANTARA News) - Laporan dari penelitian Koalisi Anti Mafia Hutan bersama Forest Trends menunjukkan bahwa industri kehutanan Indonesia kekurangan ketersediaan kayu legal.

Dalam laporan tersebut ditemukan bahwa sektor kehutanan belum mampu menyelesaikan permasalahan utamanya yakni ketidakcukupan persediaan kayu dan kapasitas terpasang berlebih, yang juga diidentifikasi sendiri oleh Kementerian Kehutanan pada 2007.

"Perusahaan berskala besar mengkonsumsi lebih banyak kayu ilegal daripada jumlah produksi kayu legal yang dilaporkan oleh Kementerian Kehutanan," demikian dilansir dari laporan yang berjudul "Indonesia's Legal Timber Supply Gap and Implications for Expansion of Milling Capacity", Rabu.

Pada 2014 kelebihan konsumsi ini mencapai 30%. Terdapat indikasi kesenjangan persediaan tersebut terus dipenuhi dengan menggunakan persediaan kayu yang ilegal dan tidak diregulasi. Jika dihitung mulai dari tahun 1991, setidaknya tercatat kesenjangan hingga sejumlah 219 juta meter kubik.

Masih dalam laporan tersebut, selain kredibilitas data Kementerian Kehutanan juga patut ditelaah lebih lanjut, penggunaan kayu HTI dilaporkan meningkat sebanyak lebih dari sepuluh kali lipat selama 1999 hingga 2008, luas lahan yang ditanami tidak seimbang dengan angka produksi.

Kemudian, kurangnya ketersediaan kayu legal tidak hanya menyebabkan kerugian ekonomi melainkan juga menyebabkan industri akan terus bergantung kepada persediaan kayu hutan alam. Bisa dikatakan, HTI telah mengalami kegagalan dalam mencapai target produksi sebagaimana ditentukan dalam Peta Jalan Kementerian Kehutanan. Dalam fase pertama dari Peta Jalan Kementerian, kinerja HTI lebih rendah 46% dari semestinya.

Sementara itu, kondisi hutan alam sangat memprihatinkan, kondisi HTI juga tidak lebih baik. Analisis dalam laporan ini memberikan indikasi bahwa sebagian besar kayu yang dilaporkan dipanen dari hutan alam berasal praktek tebang habis, bukan dari tebang pilih.

Dari analisis tersebut, industri kehutanan secara keseluruhan tidak memiliki persediaan kayu legal yang cukup agar bisa mengadopsi komitmen keberlanjutan sebagaimana yang telah dicanangkan. Bahkan jika perusahaan pulp Indonesia, termasuk pabrik yang sedang dalam tahap pembangunan, beroperasi pada kapasitas penuh, maka kesenjangan persediaan kayu legal akan mencapai 59 persen.

Sebelum kesenjangan persediaan kayu legal ini mampu dipenuhi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diharapkan merevisi strategi pembangunan kehutanan dengan memasukkan beberapa unsur yang sangat penting: di antaranya tidak memperkenankan adanya peningkatan kapasitas pengolahan, tidak menambah izin baru industri kehutanan dan meningkatkan produktivitas HTI.

"Meskipun masih menjadi bagian yang relatif kecil dalam ekonomi nasional, "penguasaan" sektor kehutanan di Indonesia sangatlah kuat. Luas konsesi kehutanan kini masih mencakup lebih dari seperlima dari seluruh negeri atau sekitar 35 juta hektar (bahkan sepertiga luas daratan Indonesia pada 1990an)," sebagaimana kesimpulan dari laporan tersebut.

Konsesi kehutanan disebut juga sarat konflik sosial karena sebagian besar kawasan tersebut masih diklaim oleh masyarakat adat dan masyarakat setempat lainnya. Terlebih lagi, tingkat korupsi dan manajemen buruk juga mengancam keberlanjutan ekonomi dan lingkungan, merugikan pemerintah sebanyak milyaran dollar setiap tahunnya melalui kerugian royalti, serta merendahkan kemampuan Indonesia dalam upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), dimana setengahnya berasal dari kegiatan terkait kehutanan, seperti pembukaan hutan, terutama di lahan gambut.

Pewarta: Monalisa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015