Jakarta (ANTARA News) - Tersangka kasus korupsi, Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Hadi Poernomo, mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Hadi ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terkait penerimaan seluruh permohonan keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak Penghasilan Badan PT BCA, Tbk tahun pajak 1999.

"Praperadilan diregister pada 16 Maret 2015 dengan nomor register 21/Tik.Trap/2015/Pnjkt.Sel," kata pengacara Hadi, Yanuar P Wasesa melalui telepon di Jakarta, Senin.

KPK sudah dua kali memanggil Hadi sebagai tersangka yaitu 5 dan 12 Maret 2015 namun Hadi tidak memenuhi kedua panggilan tersebut karena mengaku sakit jantung dan hingga saat ini dirawat di RS Pondok Indah.

"Alasan praperadilan karena KPK tidak berwenang menyidik kewenangan Dirjen Pajak sesuai pasal 25 dan 26 UU No 99/1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Jadi Dirjen Pajak punya kewenangan yang diberikan oleh UU pajak untuk memeriksa permohonan keberatan wajib pajak," ungkap Yanuar.

Kedua, keputusan menerima permohonan keberatan pajak PT BCA Tbk tahun 1999 adalah wewenang penuh Dirjen Pajak.

"Ketiga, nota dinas Dirjen Pajak tanggal 17 Juni 2004 ke direktur PPH (Pajak Penghasilan) merupakan pendapat atas pendapat direktur PPH untuk melaksanakan, jadi direktur PPH tanggal 13 Maret 2004 yang menyampaikan usul dan dibalas dengan nota dinas. Nota dinas pak Hadi untuk melaksanakan instruksi atau perintah Menkeu No 117 tahun 1999 pasal 10 yang menyebutkan bahwa terhadap bank-bank termasuk BCA wajib menyerahkan NPL yaitu non performing loan-nya ke BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dengan nilai nihil," jelas Yanuar.

Menurut Yanuar, sifat nota dinas tidaklah wajib sehingga Dirjen Pajak tidak membuat nota dinas pun tidak menjadi persoalan dan tidak melanggar apapun bahkan pembuatan nota dinas menghasilkan transparansi dan akuntabilitas.

"Kedua, apabila Dirjen Pajak pengganti Pak Hadi Poernomo memandang atau bersikap bahwa dirjen pajak terdahulu itu kewenangannya di dalam menerima keberatan pajak dianggap salah, maka (keputusan itu) wajib diperbaiki, dinasihatkan atau diterbitkan surat Ketetapan Kurang Bayar Pajak Tambahan atau KKBPT sesuai dengan pasal 15, 16, 36 UU 9 tentang KUP," ungkap Yanuar.

Masih menurut Yanuar, putusan menerima atau menolak keberatan pajak PT BCA Tbk tahun 1999 tidak menimbulkan kewajiban negara untuk membayarkan pajak BCA yang menimbulkan kerugian negara karena keputusan Dirjen Pajak sifatnya belum final atau "on going process".

"Artinya masih ada upaya hukum, apabila wajib pajak tidak sependapat dengan keputusan keberatan maka dapat mengajukan banding ke pengadilan pajak. Di pengadilan pajak yang putusannya final sesuai pasal 27 UU 9/1994 tentang KUP," tambah Yanuar.

Alasan lain, putusan menerima keberatan pajak PT BCA tahun 1999 bukan ranah Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) berdasar pasal 14 UU No 39/1999 mengenai Pemberantasan Tipikor.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015