"Jika parpol dibiarkan dibiayai oleh pemodal atau kaum kapitalis, niscaya parpol itu dalam genggaman para pemodal, ..."
Jakarta (ANTARA News) - Ada filosofi yang sesungguhnya berpihak kepada rakyat di balik ide Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo tentang pendanaan partai politik yang diambil dari keuangan negara.

Namun ide itu mendapat banyak kritik karena para pengritik melihatnya sebagai pemborosan dan jumlahnya yang cukup mencolok.

Persoalan nominal uang yang diusulkan senilai Rp1 triliun setiap parpol memang mudah menyulut kontroversi.

Taruhlah jumlah nominal itu diperkecil, disesuaikan dengan standar kelayakan bagi kebutuhan wajar setiap parpol, boleh jadi perlawanan atas ide Mendagri itu tak akan demikian keras.

Sebetulnya ide pendanaan parpol oleh negara sudah berlangsung sejak lama. Parpol perlu dibiayai oleh negara karena parpol tidak berbisnis. Dan di Indonesia, parpol tidak dapat mengandalkan sumbangan dari simpatisannya.

Makanya dalam pilpres 2014, apa yang dilakukan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla dengan merintis menerima sumbangan publik untuk membiayai kampanye politik merupakan cikal-bakal yang mencerahkan dalam pendidikan politik untuk rakyat.

Politisi senantiasa hidup dan berkiprah dalam konstelasi politik yang sarat kepentingan. Apalagi di era yang serba kapitalistik seperti sekarang ini. Segalanya dijalankan dalam bingkai dan paradigma transaksional.

Jika parpol dibiarkan dibiayai oleh pemodal atau kaum kapitalis, niscaya parpol itu dalam genggaman para pemodal, yang ujung-ujungnya akan mengatur para politisi untuk membuat kebijakan yang prokapitalis atau pemodal.

Rakyat pun demikian, mereka berjuang untuk merelakan sebagian kecil dari kekayaan mereka yang jumlahnya tak seberapa untuk menyumbang parpol, dalam konteks Pilpres 2014, yakni menyumbang pasangan Jokowi-Jusuf Kalla, agar kedua pasangan itu menang dan ketika menjadi penguasa akan berpihak ke rakyat dalam pembuatan kebijakan.

Namun secara riil, para pemodal pun tak mau ketinggalan untuk menyumbang semua politisi yang ikut berlaga dalam kontestasi kursi kepresidenan.

Maka tak ayal lagi, para pemodal pun tak pernah ketinggalan mendapatkan konsesi dari capres yang menang dalam pemilu.

Pendanaan parpol dengan dana anggaran pendapatan dan belanja negara oleh Mendagri antara lain dimaksudkan untuk mengurangi ekses dalam persaingan para politisi merebut kekuasaan, yang berupa tindakan korupsi sebagai upaya untuk menutupi biaya kampanye yang memang sangat besar.

Jika asumsi dasar Mendagri itu memang merupakan kenyataan, pendanaan parpol tentunya merupakan solusi yang legal untuk mengalokasikan dana yang dikumpulkan dari pajak yang dibayarkan dari uang rakyat.

Para calon pemegang kekuasaan eksekutif tak perlu mengeluarkan dana dari kantong pribadi untuk maju dalam pilpres maupun pilkada. Itu filosofi idealnya.

Tentu harapan yang ideal tak akan terwujudkan sepenuhnya, karena dalam pergumulan berpolitik, selalu ada politisi-politisi yang ambisinya untuk meraih kekuasaan dan materi tak pernah terpuaskan.

Meskipun negara telah mendanai mereka untuk berkompetisi dalam merebut kekuasaan, peluang terjadinya korupsi tak bisa dijamin raib seratus persen dari perpolitikan di Tanah Air.

Selama ini dana yang diberikan pemerintah kepada parpol didasarkan pada jumlah perolehan suara. Semakin besar suara yang diperoleh parpol, semakin besar pula dana yang diperoleh dari negara. Rupaya dana yang diberikan kepada parpol yang besarannya amat minim untuk per suara dinilai tidak memadai sehingga Mendagri mewacanakan dana senilai Rp1 Triliun tersebut.

Dengan banyaknya perlawanan atas ide pendanaan parpol senilai Rp1 triliun itu, Mendagri selayaknya mengubah strategi pendanaannya, yang tetap mengacu pada metode sebelumnya, yakni berdasarkan jumlah suara yang diperoleh oleh parpol bersangkutan.

Dengan demikian ide dasar perlunya pendanaan parpol lewat APBN tetap dapat diterima. Persoalannya hanya terletak pada nilai nominal yang dirasa wajar dan tak dicurigai untuk bancakan elite politik.

Parpol yang dikuasai pemodal tentu akan merugikan rakyat kebanyakan. Itu sebabnya, pengaruh pemodal dalam kiprah parpol perlu diminimalisasi untuk memberikan ruang yang lebih besar bagi terakomodasinya kepentingan rakyat kecil.

Namun, kekhawatiran pemodal menguasai parpol tentu tak perlu berlebihan sebab, politik yang demokatis bukan didasarkan pada hegemodi modal semata tapi oleh kekuatan suara terbanyak.

Persoalan baru muncul ketika suara rakyat itupun telah terbeli dengan meruyaknya politik uang, yang selalu menggoda para jelata.

Pendanaan parpol oleh APBN pada dasarnya mencegah terlalu kuatnya cengkeraman pemodal pada parpol. Semakin besar ketergantungan parpol pada modal dari kaum kapitalis, semakin besar pula parpol itu terkooptasi oleh kepentingan sang kapitalis.

Jadi seberapa besarkah nilai yang berterima untuk memberikan kucuran dana pada parpol? Jika patokannya yang berdasar nilai yang diberikan oleh pemerintah pada parpol di era pemerintahan sebelumnya dianggap tak memadai lagi, jumlah itu perlu ditingkatkan.

Mungkin peningkatannya bisa bervariasi antara 50 persen, 100 persen atau bahkan 200 persen. Yang jelas, nilai pertambahan itu tidak menyentuh ke angka Rp1 triliun sebagaimana diwacakan Mendagri belum lama ini.

Barangkali untuk menentukan besaran dana parpol yang wajar, pemerintah perlu melibatkan akuntan dalam menghitung kebutuhan parpol yang tentu saja diharapkan tidak melukai rasa keadilan masyarakat.

Kemendagri setelah menemukan angka besaran yang wajar itu, dalam perjalanan perpolitikan di Tanah Air, perlu melakukan riset tentang seberapa tinggi korelasi antara jumlah dana yang dikucurkan ke parpol dengan kecenderungan terjadinya korupsi oleh elite parpol yang sedang berkuasa.

Lewat riset semacam inilah akan diketahui beberapa kemungkinan bahwa pendanaan parpol memang dapat meminimalisasi atau malah meningkatkan tingkat korupsi oleh kalangan politisi di Tanah Air.

Oleh M Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015