Surabaya (ANTARA News) - Lembaga Pengembangan Pertanian NU Jawa Timur menilai kebijakan Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti terkait Permen 01/PERMEN-KP/2015 dan 02/PERMEN-KP/2015 itu baik, namun perlu dikritisi karena mayoritas nelayan dari kalangan bawah.

"Perubahan apapun selalu diiringi dengan resistensi, jangankan seorang menteri, nabi pun demikian. Kami setuju dengan semangat dari kebijakan Bu Susi itu, tapi beliau tidak sabar dan terlalu cepat," kata Ketua LPPNU Jatim HM Wazir Wicaksono di Surabaya, Minggu.

Dalam Forum Tabayun Ikatan Sarjana NU (ISNU) Jatim yang juga menghadirkan Slamet Budiyono (Dinas Perikanan dan Kelautan Jatim) itu, ia menjelaskan Permen itu, khususnya Permen 02, akan mudah dipahami oleh juragan nelayan (industri), tapi bukan perkara mudah bagi nelayan secara umum.

"Padahal, juragan nelayan yang punya industri itu hanya 12 persen, sedangkan mayoritas nelayan itu awam, karena itu pendekatannya bukan hanya peraturan, tapi dialogis," katanya dalam acara yang juga menghadirkan Sucipto (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia/HNSI Jatim) dan pakar kelautan ITS Prof Daniel M Rosyid.

Ia mencontohkan Larangan Penggunaan Alat Penangkap Ikan Pukat Hela/Trawls dan Pukat Tarik itu sudah ada sejak tahun 1980-an, tapi tidak seheboh sekarang, lalu larangan lobster/kepiting itu untuk yang hamil/bertelur atau bayi, tapi kini menjadi bias untuk semua lobster/kepiting.

"Karena itu, Menteri Susi sebaiknya menggunakan local wisdom, mengajak bicara tokoh nelayan, mengajak bicara sebelum mengeluarkan peraturan, bukan langsung mengeluarkan dan menerapkannya. Kalau local wisdom diabaikan ya pasti heboh," kata pimpinan organisasi yang membidangi pertanian, perikanan, dan kehutanan itu.

Senada dengan itu, pakar kelautan ITS Prof Daniel M Rosyid menyatakan nelayan yang menggunakan trawl itu harus dipahami sebagai bentuk perlawanan terhadap kekalahan mereka menghadapi nelayan besar (industri).

"Mereka kalah, karena mereka tidak memiliki teknologi, karena itu pemerintah seharusnya tidak mengeluarkan kebijakan yang justru mematikan mata pencaharian mereka, melainkan pemerintah harus mendidik mereka untuk akrab dengan perubahan," katanya.

Ketua Forum Kemaritiman Jatim itu menegaskan bahwa kebijakan Menteri Susi itu benar, karena produksi perikanan memang sudah menurun dan bahkan ukuran ikan juga semakin mengecil, sehingga lingkungan jadi rusak, tapi solusinya bukan langsung melarang mereka.

"Saran saya, kebijakan itu harus ditunda untuk memberi masa transisi dan pemerintah harus aktif memberdayakan nelayan selama masa transisi itu, misalnya mengajarkan budidaya ikan atau menggeser nelayan pada bidang eco tourisme, tentu disertai bantuan modal," katanya.

Cara lain, pemerintah bisa mengoptimalkan kelompok nelayan seperti HNSI untuk mengatur pola tangkap dalam kelompok itu, sedangkan pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah provinsi untuk menjalin sinergi antar-kelompok nelayan itu agar lingkungan terjaga.

Dalam forum bertajuk "Kebijakan Menteri Kelautan versus Kesengsaraan Nelayan" itu, Sucipto selaku perwakilan HSNI Jatim meminta pemerintah untuk melibatkan nelayan dalam membuat peraturan yang menyangkut nelayan. "Minimal melibatkan HNSI, bukan juragan ikan," katanya.

Sementara itu, Kepala Seksi Ekplorasi dan Teknologi Perikanan Tangkap pada Dinas Perikanan dan Kelautan Jatim, Slamet Budiono, mengakui Permen 02 memang telah memulihkan stok ikan, namun kebijakan itu berdampak pada 80 persen nelayan.

"Kalau di Jatim, nelayan yang terdampak itu nelayan di wilayah utara, sedangkan nelayan di wilayah selatan seperti Jember tidak terpengaruh, tapi mayoritas nelayan memang terpengaruh, bahkan produksi ikan pada 42 unit pengolahan ikan (UPI) juga terdampak, sehingga tenaga kerja pun terancam nasibnya," katanya.

Oleh karena itu, pihaknya mendesak pusat untuk memberlakukan kuota dalam penangkapan ikan dan melakukan edukasi pada nelayan untuk melakukan diversifikasi usaha di bidang perikanan. "Itu cara yang lebih bisa diterima nelayan, karena perikanan itu taruhan hidup mereka," katanya.

Pewarta: Edy M Ya'kub
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015