... bagaimana menanggulangi ISIS ini atau dengan merevisi UU antiteror. Supaya dasar hukumnya jelas...
Jakarta (ANTARA News) - Wakil Kepala Kepolisian Indonesia, Komisaris Jenderal Polisi Badrodin Haiti, mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang mengatur penanganan para pengikut kelompok radikal seperti Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS alias ISIL atau ISIS) di Indonesia.

"Memang sebaiknya segera dibuat Perppu bagaimana menanggulangi ISIS ini atau dengan merevisi UU antiteror. Supaya dasar hukumnya jelas. ISIS dilarang tapi dasar hukumnya nggak ada," kata Haiti, di Markas Besar Kepolisian Indonesia, Jakarta, Senin.

Sampai saat ini, belum ada fatwa atau sikap mengikat pemerintah tentang jaringan NIIS di Tanah Air. Baru Panglima TNI, Jenderal TNI Moeldoko, yang secara terbuka menyatakan NIIS dan jaringannya adalah potensi ancaman nyata terkini terhadap bangsa dan negara --laiknya terorisme-- dan TNI siap menggulung mereka. 

Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, juga menyatakan pemerintah masih menentukan langkah terkait 16 WNI yang dijaring pemerintah Turki di Gazentep. Mereka dijaring karena kelengkapan dokumen imigrasi walau mereka mengaku ingin menyeberang ke Suriah guna bergabung menjadi milisi NIIS. 

Bahkan, akses internet publik ke situs-situs terkait NIIS juga masih dibuka lebar. NIIS sangat cerdik memakai internet dan media sosial untuk menyebarkan faham eksklusivitas ekstrim Islam bagi dunia. Beberapa negara sudah menutup akses-akses internet ini sementara Indonesia belum.

Menurut Haiti, dalam menangggulangi aksi-aksi teror di Tanah Air selama ini, polisi menggunakan UU Antiteror dan KUHP sebagai dasar hukum.

Kepolisian Indonesia baru bisa menindak seorang anggota kelompok radikal setelah orang itu terbukti melakukan tindakan teror, di antaranya kepemilikan senjata ilegal, perakitan bom, terlibat aksi pemboman dan pembunuhan.

Masalahnya, "jaring-jaring" NIIS di Tanah Air tidak berkelakuan seperti itu. Kelompok yang ditangkap di Petukangan, Jakarta Selatan, kemarin, juga tidak demikian sebagaimana dulu pernah dilakukan komplotan Amrozy. 

Sementara hingga saat ini belum ada payung hukum untuk menindak tegas para anggota dan simpatisan kelompok radikal di Indonesia.

Banyaknya WNI yang pergi ke negara-negara di Timur Tengah telah membuat Kepolisian Indonesia khawatir. Kendati demikian, hingga kini pemerintah tidak bisa mencegah seseorang bepergian ke luar negeri sepanjang yang bersangkutan memenuhi persyaratan dokumen keimigrasian.

Polisi menyatakan, ada 514 WNI yang kini ditengarai berada di Suriah. Meski demikian, belum dapat dipastikan ratusan WNI tersebut apakah terlibat paham kelompok NIIS atau tidak.

Pewarta: Anita Dewi
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015