Mulai hari ini, saya membebaskan wartawan asing yang ingin ke Papua seperti halnya ke daerah lain"
Jakarta (ANTARA News) - Di sela kunjungannya di Kampung Wapeko Kecamatan Hurik, Kabupaten Merauke, Minggu (10/5), Presiden Joko Widodo mengeluarkan keputusan mengejutkan, yakni membebaskan jurnalis asing meliput Papua.

"Mulai hari ini, saya membebaskan wartawan asing yang ingin ke Papua seperti halnya ke daerah lain," tegas Presiden Jokowi.

Langkah ini jelas revolusioner karena Papua sejak 1969 tertutup bagi jurnalis asing.

Kebijakan Presiden Jokowi mengizinkan jurnalis asing meliput di Papua adalah juga dalam upaya memberi pesan kepada dunia bahwa Papua bukan wilayah tertutup.

Konsultan Indonesia untuk Human Rights Watch Andreas Harsono memuji langkah Jokowi ini sebagai sesuai dengan UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

UU nomor 40 itu menyebutkan, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, dan untuk menjamin kemerdekaan pers, pers mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi tanpa penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran.

"Semua daerah di Indonesia harus menikmati kebebasan pers tanpa pandang bulu, apakah dia wartawan lokal atau internasional," ujar Andreas yang juga wartawan itu, kepada ANTARA News.

Sejak Papua menjadi bagian dari Indonesia, jurnalis asing yang akan meliput ke sana harus melalui clearing house yang melibatkan 12 kementerian atau lembaga negara, mulai dari Kementerian Luar Negeri, Kepolisian, Badan Intelijen Negara, sampai Kementerian Kooordinator Politik, Hukum dan Keamanan. Mekanisme itu menjadi alat pemerintah membatasi jurnalis-jurnalis asing yang ingin melaporkan Papua secara bebas.

Pembatasan ini, lanjut Andreas, justru menunjukkan Indonesia tidak mematuhi hukumnya sendiri.

"Kita mau menjalankan UU Pers Tahun 1999 atau tidak? Suatu pemerintah boleh membatasi akses wartawan ke suatu wilayah jika dilakukan dengan waktu singkat dan mekanismenya jelas kalau ada persoalan daerah yang membutuhkan isolasi sementara," jelas Andreas.

Pembatasan kerja jurnalistik ini mengakibatkan mutu jurnalisme di Papua buruk sekali karena tidak ada interaksi jurnalistik di sana.

"Ada propoganda, disinformsi, itu campur aduk. Kalau ada wartawan asing masuk suatu daerah, standar jurnalisme daerah itu akan naik," kata Andreas.

Dia yakin, jika itu mutu jurnalisme di daerah semakin meningkat, otomatis semakin bermutu pula informasi yang ada di daerah itu. Insentif terbesar dari naiknya mutu informasi adalah semakin bermutu pula pola pengambilan keputusan di daerah tersebut.

"Sebaliknya, karena tidak ada jurnalisme independen maka kualitas jurnalisme di daerah tersebut kurang bermutu sehingga masyarakatnya pun bisa kurang bermutu," ujar Andreas.

Agar Papua lebih maju

Aktivis HAM, pejuang kesetaraan dan keberagaman Hendardi bahkan berpikir lebih maju dengan berteori bahwa lebih terbukanya Papua akan membuat masyarakat Papua maju secara signifikan.

Namun, ia menilai, keterbukaan seperti itu bukan berarti tanpa syarat, misalnya tetap harus ada surat izin, tetapi izin itu tidak berbelit dan lebih terbuka.

"Diharapkan pula perkembangan ekonomi Papua akan lebih pesat dengan keterbukaan di Papua. Investasi akan lebih banyak datang dan dapat diperlakukan lebih adil tidak hanya didominasi perusahaan-perusahaan tertentu saja," pandang Hendardi.

Hendardi meyakini Papua yang lebih terbuka akan menjadi tantangan bagi aparat hukum dan aparat negara lainnya untuk tidah gegabah mengambil langkah-langkah represif sebagaimana biasa terjadi di masa lalu.

Lebih jauh keadan ini akan menghadirkan sistem aparatur negara yang lebih terukur dalam bertindak dan abai pada suara publik yang sangat penting dalam demokratisasi dan memperluas partisipasi publik yang sangat dibutuhkan oleh Papua.

Hendardi yang juga Ketua Badan Pengurus Setara Institute itu juga memberikan nilai tambah bagi Indonesia karena inisiatif Jokowi itu membuat Indonesia dianggap tidak menyembunyikan apa pun dari Papua.

Yang kini dinantikan dari terobosan Jokowi itu di Papua itu adalah realisasinya. Salah satu yang menantikan hal ini adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Tak hanya menanti sebenarnya, karena AJI juga proaktif memberi saran, dengan salah satunya mengusulkan pembubaran lembaga clearing house.

"Jurnalis asing sudah sewajarnya bebas meliput di Papua, seperti mereka meliput wilayah lain di Indonesia,"
kata Ketua Bidang Advokasi AJI Iman D Nugroho.

Iman melanjutkan, 'Di tingkat lokal, implementasi kebebasan pers ini adalah jangan ada lagi jurnalis asing yang mendapat intimidasi aparat keamanan seperti dimata-matai, diikuti, atau diteror, yang menghambat kegiatan jurnalistik yang mereka lakukan. Kebebasan ini juga tentunya berlaku di wilayah-wilayah lain di Indonesia seperti di Sulawesi Tengah atau Aceh."
                                                           
Iman yakin pembukaan akses bagi jurnalis di Papua akan menjadi awal kemajuan masyarakat Papua.  

Transparansi informasi akan membuat Papau maju, sebaliknya pemerintah pusat di Jakarta akan memperoleh informasi yang berimbang, lebih objektif dan terverifikasi karena informasi-informasi media diperoleh lewat standar jurnalistik yang baik.

"Isu korupsi dan pelanggaran HAM yang selama ini seakan mendapat perlindungan dan dilanggengkan sekelompok orang, akan mudah diungkap. Siapa yang menjadi pelaku, penjahat HAM ataupun koruptor harus dijebloskan ke penjara," ujar Iman.

Dengan cara seperti itu, Iman yakin dunia akan mudah dan lebih jernih dalam melihat kemajuan pembangunan di Papua, tidak bias seperti selama ini terjadi.

Dalam perspektif lebih luas, Iman melihat pembukaan akses seluas-luasnya bagi jurnalis adalah bukti kebebasan pers benar-benar berlaku di seluruh Indonesia.

Dan kebebasan pers menjadi bukti bahwa tidak ada lagi diskriminasi terhadap Papua.

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015