Boda, Republik Afrika Tengah (ANTARA News) - Tanpa alas kaki dan bertelanjang dada, 50 budak terus menggali demi menemukan batu berlian di lubang berpasir seluas setengah lapangan sepakbola, di tengah hutan Republik Afrika Tengah.

Pertambangan di Banengbele, Boda, itu adalah salah satu di antara banyak pertambangan, yang dipenuhi penggali dengan gaji tiga dolar sehari.

Pemilik tambang kemudian memotong gaji tersebut untuk makan siang dengan jatah tidak seberapa dengan lauk daging satwa liar, seperti, ular, yang kebetulan tertangkap di hutan sekitar.

Keadaan di penampungan pekerja juga tidak kalah menyedihkan. Empat pria harus bergantian tidur di tempat selebar 1,5 meter, yang terbuat dari tongkat, pastik, dan jaring penangkal nyamuk.

Setelah bekerja seharian di tengah terik matahari yang sangat panas, sebagian pekerja pada umumnya mengistirahatkan diri dengan ganja dan tuak.

"Kami bekerja dengan sangat keras. Semua badan terasa sakit," kata Jean Bruno Sembia.

Ada juga perempuan yang terpaksa bekerja di pertambangan untuk memberi makan empat orang anaknya.

"Bagaimanapun juga saya harus bekerja," kata janda bernama Huguette Zonki tersebut sambil mengendong bayi yang kepalanya dipenuhi bintil bernanah.

"Suami saya terbunuh dalam peperangan. Di sini, saya mendapatkan tiga dolar satu hari dengan memasak untuk para pria penambang. Dalam satu bulan, saya bisa keluar dari tempat ini selama lima hari," cerita Zonki.

Saat salah seorang pekerja tambang berhasil menemukan berlian, pemilik konsesi lahan akan mengambil an menjualnya. Sang pekerja mendapat bagian 30 sampai 60 euro per karat atau sepertiga dari nilai jual berlian di pasar lokal.

Namun demikian, pekerja di Boda setidaknya bernasib lebih baik karena digaji. Di kawasan pertambangan bagian utara Republik Afrika Tengah, yang dikuasai kelompok gerilyawan, para penambang harus menyerahkan berlian yang mereka temukan dengan senjata terarah di kepala.

Republik Afrika Tengah memang terkenal atas apa yang disebut sebagai berlian berdarah. Badan internasional Kimberley Process telah melarang ekspor batu berharga dari negara tersebut sejak gerilyawan Seleka menggulingkan presiden Francois Bozize pada 2013 lalu.

Kelompok Seleka yang mengatas-namakan agama Islam tersebut diduga menggunakan berlian hasil perbudakan untuk mendanai gerakannya.

Sejak penggulingan Bozize, kelompok seleka dan musuhnya, milisi Kristen garis keras "anti-balaka", terus berperang untuk memperebutkan wilayah tambang.

Di sisi lain, tidak mudah untuk menghentikan praktik perbudakan di pertambangan Republik Afrika Tengah. Pemerintah yang saat ini berkuasa berharap agar embargo Kimberley Process dapat dicabut sebagian karena berlian adalah satu-satunya komoditas yang dapat menghidupkan perekonomian.

Pejabat Kementerian Pertambangan, Francois Ngbokoto, mengatakan bahwa embargo justru menyuburkan praktik penyelundupan berlian ilegal. Banyak berlian tersebut diekspor ke dunia dari negara tetangga, seperti, Kamerun, Chad, Kongo, dan Sudan.

Banyak pihak menilai bahwa tanpa pertumbuhan ekonomi yang menyertai pencabutan embargo berlian, perdamaian tidak akan terjadi di Repubik Afrika Tengah.
(G005)

Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015