Jakarta (ANTARA News) - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyayangkan pernyataan Kementerian Kesehatan tentang adanya pembalut dan pantyliner berklorin sebagaimana ditemukan oleh pihaknya.

"Pernyataan Kemenkes bahwa klorin pada pembalut adalah aman, bertentangan dengan regulasi yang dibuat sendiri. Kemenkes tidak konsisten dan menabrak aturan yang dibuatnya," kata Tulus Abadi melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat.

Tulus mengatakan klorin merupakan bahan berbahaya sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 472 Tahun 1996 tentang Pengamanan dan Pengawasan Bahan Berbahaya.

Peraturan tersebut, kata Tulus, memang tidak menyebutkan bahwa klorin berbahaya jika dikonsumsi, tetapi berbahaya secara umum dalam penggunaan karena beracun dan iritatif.

"Sebagai bahan yang beracun dan iritatif, tentu ada batas maksimum untuk penggunaannya. Namun, Kemenkes justru menyatakan pembalut berklorin aman, tanpa batas sedikit pun," tuturnya.

Padahal, Tulus mengatakan sudah banyak dokter kandungan yang secara tegas menyatakan klorin melalui pembalut yang digunakan sangat berbahaya bagi kandungan dan alat reproduksi perempuan. Klorin bisa menimbulkan gatal-gatal, iritatif, bahkan infertisilitas karena karsinogenik.

"Karena itu, YLKI mendukung dan mendesak rencana Badan Standarisasi Nasional (BSN) yang akan merevisi Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang pembalut. YLKI meminta SNI pada pembalut memasukkan klorin sebagai bahan terlarang, setidaknya ada ambang batas maksimum," katanya.

Menurut Tulus, ambang batas klorin pada pembalut di beberapa negara sudah diatur. Amerika Serikat misalnya, merekomendasikan batas maksimum klorin pada pembalut 0,1 ppm.

"Saat ini, pembalut nyaris menjadi kebutuhan pokok bagi perempuan. Sekitar 118 juta perempuan Indonesia, 67 juta diantaranya adalah perempuan subur, memerlukan pembalut. Itu artinya kebutuhan pembalut di Indonesia tidak kurang dari 1,4 miliar per bulan," katanya.

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015