Dengan UU JPSK, akan terjadi konsolidasi dan koordinasi yang baik antara Menteri Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan LPS untuk menentukan dan memastikan terjadinya krisis berikut penanggulangannya."
Jakarta (ANTARA News) - Kumpulan bocah berseragam merah putih mengerumuni mobil kas keliling milik suatu bank swasta.

Raut muka antusias tampak jelas di wajah polos mereka tatkala melihat kendaraan tersebut pagi itu.

"Katanya bisa nabung di mobil ini ya, Oom?" tanya Angga (9).

Saat diberikan jawaban "Iya" dan dibalik tanya apakah sudah punya tabungan, siswa kelas III salah satu SD negeri di Jakarta itu menganggukkan kepalanya.

"Tapi aku nabungnya di celengan, Oom. Dijamin lebih aman!," jawabnya yakin.

Lain Angga, lain pula dengan Putri (11). Pelajar kelas V SD itu dengan bangganya mengatakan kalau ia sudah dibukakan tabungan oleh orang tuanya sejak setahun lalu di sebuah bank tidak jauh dari rumahnya.

"Kata mama, uang jajan gak boleh dihabisin semuanya. Tapi aku nabungnya di bank, bukan di mobil kayak gini. Kalau di bank uangnya gak bisa dicuri," ujar Putri yang sepertinya juga tidak tahu bahwa mobil kas keliling itu sebenarnya juga bank, hanya dalam bentuk yang berbeda.

Merasa aman dan tenang, mungkin hanya dua hal itu yang ingin didapatkan oleh nasabah ketika menempatkan sebagian atau seluruh uang yang dimilikinya di suatu bank.

Bahkan, seorang anak kecil saja tampak tak rela uang hasil jerih payahnya menabung hilang diambil oleh orang lain, sedangkan yang satunya merasa lebih aman kalau duit miliknya disimpan di "bank" miliknya sendiri.

Masih teringat jelas, kebijakan penutupan bank oleh pemerintah pada krisis 1997-1998, yang justru gagal meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas pemerintah dalam menangani krisis.

Nasabah bank justru melakukan penarikan dana secara besar-besaran atau "rush", yang kemudian memaksa pemerintah memberi penjaminan 100 persen dana nasabah di bank (blanket guarantee) pada 27 Januari 1998.

Ketua Umum Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Sigit Pramono mengatakan, reformasi sistem perbankan setelah krisis 1997-1998 tersebut, juga ditandai dengan kehadiran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Pada 2004, lembaga tersebut diberi mandat untuk menjamin simpanan di bank serta melakukan resolusi terhadap bank bermasalah yang dianggap tidak sistemik dan melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik.

"Kehadiran LPS turut menjaga stabilitas sektor perbankan dengan memberikan rasa aman bagi nasabah dalam bentuk penjaminan simpanan," ujar Sigit.

LPS sendiri beroperasi dengan prinsip industry help industry. Jika ada bank yang bermasalah, maka seluruh sektor perbankan akan gotong-royong membantu melalui LPS. Dana yang digunakan berasal dari dana penjaminan yang dikumpulkan oleh LPS, bukan dari APBN.

Dengan modal awal Rp4 triliun plus gotong royong iuran kalangan perbankan, aset LPS berkembang cukup pesat hingga kini mencapai Rp60 triliun.

Dengan kondisi ekonomi yang belum begitu kondusif di mana masih ada ketidakpastian dari sisi global, melambatnya pertumbuhan ekonomi domestik serta pelemahan nilai tukar rupiah, risiko yang akan dihadapi oleh perbankan juga semakin besar.

Kendati kinerja industri perbankan saat ini cukup baik dengan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) di atas 20 persen serta tingkat kredit bermasalah (non performing loan/NPL) di bawah tiga persen, bank-bank dan tentunya juga LPS sebagai penjamin jika terjadi risiko gagal bayar, juga harus tetap waspada.

"Kami sudah melakukan stress test (uji tekanan) lebih ke LPS sendiri, terkait berapa banyak bank gagal yang bisa kami tangani. Dengan aset saat ini, satu-dua bank kami masih siap (tangani)," kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Eksekutif LPS Fauzi Ichsan.

Fauzi menambahkan, risiko industri perbankan Indonesia juga mengalami penurunan. Indeks Stabilitas Perbankan (Banking Stability Index, BSI) LPS pada bulan Juli 2015 menunjukkan adanya penurunan sebesar 6 bps dari bulan sebelumnya, atau dari 100,31 menjadi 100,25, atau masuk dalam kategori normal.

Pentingnya UU JPSK
Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (RUU JPSK) tidak lama lagi akan dibahas oleh legislator di Senayan. LPS yang sebelumnya terus mendorong disahkannya RUU JPSK tersebut tentunya berharap hal tersebut dapat terealisasi sebelum akhir tahun ini. UU JPSK dinilai amat penting karena akan menjadi semacam fondasi hukum dan juga protokol apabila krisis melanda.

Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menilai UU JPSK diperlukan untuk mengantisipasi risiko ketidakpastian baik dari internal maupun eksternal.

Ketergantungan Indonesia terhadap investasi asing dan impor yang masih tinggi dinilai akan membuat negara rentan terhadap gejolak ekonomi, tak terkecuali perbankan.

"Perbankan itu beresiko karena rakyat kecil hanya menguasai aset sekitar 40 persen (tabungan Rp2 juta-Rp10 juta), sedangkan tabungan sebesar Rp2 miliar ke atas dikuasai oleh kelas menengah ke atas sebesar 60 persen, sehingga mengakibatkan terjadinya perang suku bunga," kata Enny.

Berdasarkan data LPS Per Juli 2015, saat ini LPS menjamin 166,95 juta rekening nasabah yang simpanannya di bawah Rp2 miliar atau 99,87 persen dari total rekening seluruh nasabah yang menyimpan uangnya di bank.

Namun, dari sisi nominal, simpanan nasabah di bawah Rp2 miliar komposisinya hanya 43,47 persen dari total nominal seluruh simpanan nasabah atau Rp1.919,27 triliun.

Dengan kata lain, walaupun LPS menjamin hampir seluruh rekening nasabah, namun secara besaran simpanan nasabah di bank, separuh lebih simpanan atau sebesar Rp2.496,1 triliun yang merupakan milik 216 ribu lebih rekening tersebut tidak dijamin oleh LPS karena simpanannya di atas Rp2 miliar.

Sementara itu, anggota Komisi XI DPR Misbakhun menuturkan, UU JPSK perlu untuk mengantipasi kemungkinan terjadinya krisis yang kapan saja dapat menghantam perekonomian domestik.

Kasus Bank Century tentunya menjadi pengalaman berharga bagi para pengambil kebijakan sistem keuangan.

"Dengan UU JPSK, akan terjadi konsolidasi dan koordinasi yang baik antara Menteri Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan LPS untuk menentukan dan memastikan terjadinya krisis berikut penanggulangannya," ujar politisi dari Partai Golkar itu.

Dalam rancangan atau draft RUU JPSK yang baru, pemerintah telah menghapuskan pasal imunitas atau kekebalan terhadap tindakan hukum, hal yang dulu sempat membuat RUU JPSK mandeg dibahas.

Namun, agar pejabat berani mengambil keputusan, maka akan diberikan pendampingan hukum.

RUU JPSK kali ini juga hanya mencakup penanganan krisis pada sektor perbankan, tidak lagi menangani sektor asuransi dan pasar Surat Berharga Negara (SBN). Selain itu, penetapan bank berdampak sistemik maupun non sistemik telah ditetapkan sebelumnya dalam kondisi normal oleh pengawas, setelah berkonsultasi dengan BI dan OJK.

RUU JPSK saat ini juga meminimalkan pemakaian dana publik dalam rangka penyelamatan bank serta masalah solvabilitas penanganan bank yang dapat dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yaitu adanya metode pengalihan aset dan kewajiban serta bank perantara.

Dalam lingkup yang lebih kecil, memberikan rasa aman dan tenang kepada para nasabah yang banknya menjadi peserta penjaminan, memang jelas menjadi tanggung jawab LPS.

Namun dalam lingkup yang lebih luas, memberikan rasa aman dan tenang kepada masyarakat Indonesia di tengah gejolak ekonomi saat ini, adalah tanggung jawab semua pihak sesuai dengan peran, fungsi, dan tugasnya masing-masing, bukan?

Oleh Citro Atmoko
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015