Tokyo (ANTARA News) - Pihak berwenang Tiongkok menahan dua pria Jepang atas dakwaan mata-mata, demikian dilaporkan media, Rabu, namun Tokyo membantah bahwa mereka memata-matai negara lain.

Stasiun penyiaran publik Jepang NHK dan harian Asahi mengatakan, dua pria yang tidak disebutkan namanya itu ditahan secara terpisah, satu di provinsi Liaoning di utara dan satu lagi di provinsi Zhejiang di timur. Keduanya ditahan sejak Mei.

Mengutip sumber yang tidak disebutkan namanya, laporan tersebut mengatakan bahwa kedua pria itu tengah mengunjungi Tiongkok. Salah seorang tersangka ditahan di dekat perbatasan Korea Utara, dan tersangka lainnya dicokok dekat sebuah fasilitas militer.

Keduanya ditahan dengan berbagai tuduhan, termasuk melanggar undang-undang anti mata-mata Tiongkok, demikian dilaporkan harian Asahi.

Kementerian Luar Negeri Tiongkok tidak memberikan tanggapan atas laporan tersebut.

Juru bicara pemerintah Jepang Yoshihide Suga menolak mengonfirmasikan laporan media tersebut namun ia membantah klaim mata-mata.

"Saya tidak akan berkomentar mengenai kasus individual... namun negara kami tidak terlibat dalam kegiatan semacam itu (mata-mata)," katanya.

Laporan mengenai penahanan itu muncul setelah Tiongkok pada 2010 menahan empat pria Jepang di provinsi Hebei di wilayah utara.

Mereka adalah karyawan perusahaan konstruksi Fujita yang berbasis di Tokyo, yang mengatakan bahwa keempat orang itu mengunjungi kota Shijiazhuang untuk mempersiapkan tender proyek pembuangan senjata kimia yang ditinggalkan di Tiongkok oleh pasukan Jepang pada tahun 1930-an.

Mereka mengaku telah mengambil gambar di dalam kawasan militer, namun mengatakan bahwa mereka tidak tahu telah berada di kawasan terlarang. Kelompok tersebut kemudian dibebaskan dan dipulangkan ke Jepang.

Penahanan itu terjadi ditengah meningkatnya ketegangan hubungan diplomatik antara kedua negara, yang dipicu oleh penangkapan seorang kapten kapal pukat Tiongkok di perairan sengketa di Laut Tiongkok Timur.

Disamping hubungan dagang yang semakin meningkat, sengketa wilayah yang memburuk serta catatan perang Jepang menjadi noda hitam dalam hubungan antara dua raksasa ekonomi Asia itu, demikian laporan AFP.

(Uu.S022)

Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2015