Saat ini RUU masih dalam pembahasan di Komisi XI. UU ini bukan buat sedot dana negara. Ini untuk tangani jika sistem keuangan berada dalam kondisi tidak normal,
Jakarta (ANTARA News) - Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara menegaskan Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan tidak menguras keuangan negara.

"Saat ini RUU masih dalam pembahasan di Komisi XI. UU ini bukan buat sedot dana negara. Ini untuk tangani jika sistem keuangan berada dalam kondisi tidak normal," kata Suahasil saat dihubungi Antara dari Jakarta, Senin.

Hal tersebut dikatakan Suahasil saat menanggapi pandangan bahwa RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) berpotensi mengeruk kekayaan negara secara legal dengan dibentuknya lembaga baru yaitu Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan Badan Restrukturisasi Perbankan (BRP).

Menurut Suahasil, KSSK sejatinya bukan hal yang baru karena saat ini telah ada Forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang memiliki tugas sama dengan KSSK nantinya yaitu memonitoring ekonomi, menetapkan status bangkrutnya sektor keuangan dan memberikan persetujuan suntikan dana kepada bank yang bangkrut.

"FKSSK itu juga diisi oleh pihak yang sama yaitu, Menteri Keuangan, Gubernur BI, Kepala LPS dan Ketua Dewan Komisioner OJK. Dan tidak ada yang dikuras uang negara di situ," katanya.

Dengan diundang-undangkannya RUU JPSK tersebut, lanjut dia, FKSSK itu akan menjadi komite dan memiliki legal standing. Akan tetapi dengan menjadi komite juga, ucap dia, tidak akan menguras uang negara karena tidak akan ada struktur, pegawai dan fasilitas sehingga tidak ada pengeluaran negara untuk itu semua.

Hanya institusinya saja yang masuk didalamnya, lanjut dia, dengan diwakili oleh kepala di masing-masing anggotanya untuk menyampaikan perkembangan perekonomian terkini.

"BI tugasnya perhatikan sistem pembayaran, OJK bertugas perhatikan lembaga keuangan, LPS untuk penjaminan simpanan, kemenkeu perhatikan fiskal dan Surat Berharga Negara, semua itu lapor, sehingga ada monitoring perekonomian yang serius," katanya.

Terkait dengan Badan restrukturisasi perbankan (BRP) yang terdiri dari dewan pengawas, dewan eksekutif badan restrukturisasi perbankkan, Suahasil menjelaskan, ini adalah badan untuk menangani banyak bank yang bermasalah dan tidak bisa ditangani LPS.

Dia menambahkan BRP ini memang dibentuk oleh UU JPSK namun tidak aktif dan hanya bisa diaktifkan oleh KSSK dengan kondisi tertentu.

"Sekarang, kita minta izin dulu lewat UU boleh gak kita bentuk BRP ini, dalam level RUU ini tentu pembahasan dengan DPR akan berkembang misalnya boleh atau bisa dengan disertai syarat. Jika positif pasti harus ada PP dan turunannya," kata dia.

Sebelumnya, pengamat dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng mengatakan jika RUU JPSK disahkan berpeluang terjadinya perampokan keuangan negara secara legal karena merupakan alat bagi bagi jabatan diantara elite pemerintahan dan DPR.

Hal itu dikarenakan dalam RUU JPSK ini, lanjutnya, akan dibentuk dua lembaga sekaligus yaitu KSSK dan BRP yang menurutnya hanya menjadi tempat untuk membagi jabatan diantara elite dengan gaji yang super besar, namun juga menjadi alat elite politik untuk mengeruk dan memeras sektor keuangan baik perbankkan maupun non bank.

Salamuddin menyatakan dalam krisis 1998 keuangan Negara juga dikuras melalui BLBI dan melalui restrukturisasi dan rekapitalisasi perbankan. Lalu, sambung Salamuddin, krisis 2008 menjadi ajang perampokan keuangan Negara melalui bailout bank Century.

"Dengan disahkannya UU JPSK, maka akan menjadi landasan legal bagi pemerintah, bersama Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan untuk merampok kekayaan Negara secara syah," ujarnya.

(R030/S027)

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015