Seoul (ANTARA News) - Perceraian senja setelah 20 tahun menikah di tengah masyarakat konservatif Korea Selatan menandakan stigma perceraian telah luntur dan putusan pengadilan membuat perempuan lebih tua mampu menghidupi diri sendiri secara finansial.

Bagi Kim Nan-young (54), yang terperangkap dalam pernikahan tanpa cinta selama dua dekade, lebih baik bercerai di usia senja ketimbang tidak sama sekali.

"Saya bertahan dengan suami berperilaku patriarkal dan arogan selama bertahun-tahun karena saya enggan bercerai saat anak-anak masih kecil," kata Kim, ibu dari dua anak laki-laki yang dua tahun lalu berpisah dari suami yang telah dia nikahi selama 25 tahun.

"Sekarang saya hanya perlu mengurus diri sendiri, sehingga lebih mudah mencari pekerjaan. Banyak hal yang bisa dilakukan perempuan untuk hidup," kata Kim, yang mulai berbisnis penatu kecil sejak bercerai.

Putra-putra Kim juga memberikan dukungan finansial dan emosional yang dia butuhkan untuk berpisah, serta terbantu keputusan pengadilan yang membuat kedua pihak mendapat aset pernikahan yang lebih merata ketika bercerai.

Menurut data biro statistik nasional bulan ini, 33.140 pasangan yang telah 20 tahun menikah memutuskan bercerai tahun lalu. Jumlah itu mencakup seperempat lebih data seluruh perceraian dan meningkat 31 persen dibandingkan satu dekade lalu.

Lebih banyak perempuan memilih meninggalkan perkawinan yang tidak bahagia ketika anak-anak mereka dewasa, sementara stigma sosial yang melekat ke perceraian menghilang.

Lonjakan perceraian di usia senja kontras dengan penurunan jumlah kasus perceraian secara keseluruhan, yang tercatat 115.510 tahun lalu, setelah memuncak tahun 2003 dengan 166.617 kasus perceraian.

Kepastian keamanan finansial bagi perempuan yang bercerai juga telah meningkat, seiring dengan pengadilan yang semakin banyak membuat keputusan yang setara untuk kedua belah pihak, seperti memberi setengah dari properti untuk ibu rumah tangga.

Seorang perempuan yang bercerai setelah 50 tahun menikah dengan pejudi yang kerap melakukan kekerasan mengatakan dia dapat memulai hidup baru karena pengadilan memberinya nyaris setengah dari aset pasangan meski dia selama ini menjadi ibu rumah tangga.

"Saya berusia 70-an," kata perempuan yang tak mau disebutkan namanya.

"Perceraian setelah waktu yang lama berarti kau sudah sangat putus asa. Kini putra dan putriku mengatakan aku harus menjalani hidup baru."


Perubahan hukum

Tahun lalu, Mahkamah Agung Korea Selatan memutuskan bahwa perempuan yang bercerai berhak mendapat bagian dari dana pensiun dan pesangon suami.

Perempuan yang bercerai dari guru sekolah negeri, pegawai pemerintahan dan tentara akan menerima setengah dana pensiun dari mantan suami berdasarkan aturan baru yang akan berlaku tahun depan.

Semakin banyak perempuan ingin bercerai setelah pengadilan menganggap pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan yang harus dikompensasi, kata pengacara Kim Sung-woo yang banyak terlibat dalam kasus perceraian di usia tua.

"Aset rumah tangga dibagi merata, bahkan jika sang suami adalah pekerja kantor dan istrinya ibu rumah tangga yang membesarkan anak di rumah," kata dia.

Banyak perempuan yang bercerai di usia senja karena yakin dengan kemudahan mencari kerja.

Jumlah perempuan pekerja Korea Selatan mencapai rekor 49,5 persen tahun lalu, dengan proporsi perempuan berusia di atas 50 tahun meningkat menjadi 43,2 persen, naik dari 39,7 persen pada 2010.

Peningkatan perceraian di usia tua menimbulkan lebih banyak pernikahan kedua, meski keputusan itu lebih dipengaruhi oleh kemandirian finansial dari calon pasangan ketimbang kesamaan hobi dan ketertarikan.

"Dulu, orang tua menganggap menikah lagi itu memalukan," kata Kim Mi-yeon dari perusahaan mak comblang DUO Marriage Information Co.Ltd.

"Sekarang mereka ingin menemukan pasangan hidup baru yang bisa menjadi teman berbagi hobi," demikian seperti dilansir kantor berita Reuters.

Penerjemah: Nanien Yuniar
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015