Jakarta (ANTARA News) - Penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia menjadi 7,25 persen diharapkan segera diikuti industri perbankan untuk memangkas suku bunga kreditnya, sehingga roda perekonomian di sektor riil dan infrastruktur dapat terpacu sejak awal tahun.

Direktur Keuangan Negara dan Analisa Moneter Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Sidqy L.P Pangesti kepada Antara di Jakarta, Kamis, mengatakan pelonggaran kebijakan moneter tersebut berdaya ungkit ekonomi cukup baik, apalagi saat ini indikator ekonomi domestik seperti inflasi dan juga belanja fiskal pemerintah, terus bergerak positif.

"Ke depannya, peluang penurunan suku bunga acuan masih ada," kata dia.

Sidqy mengatakan penurunan 25 basis poin bunga acuan tersebut telah dinanti sekian lama oleh pengusaha dan investor. Dia melihat dosis penurunan tersebut sudah tepat, meskipun di beberapa waktu ke depan, Sidqy berpendapat tekanan eksternal yang mereda dan perbaikan ekonomi domestik, bisa mendorong BI untuk kembali memangkas suku bunganya secara bertahap hingga 75 basis poin.

"Indikasinya kita lihat, ternyata inflasi 2015 sangat rendah, jauh lebih baik dari asumsi BI dan pemerintah. Maka itu peluang pelonggaran ada," ujar dia.

Namun, dia memahami, bahwa penurunan suku bunga acuan ke depannya juga perlu membutuhkan proses yang baik dari reformasi struktural ekonomi yang juga mejadi tanggung jawab pemerintah.

Dia melihat neraca transaksi berjalan memang berpotensi mengalami peningkatan defisit karena maraknya impor untuk infrastruktur, namun pemerintah dapat menekan angka defisit itu dengan mengurangi impor migas dan pangan.

"Maka itu, sejak rapat-rapat kemarin, kami selalu menekankan untuk percepat energi terbarukan dan juga perbaiki tata kelola niaga, agar tidak perlu terus impor," ujar dia.

Sidqy meyakni respons otoritas moneter dengan melonggarkan kebijakan moneternya di awal tahun, akan menjadi stimulus untuk laju pertumbuhan ekonomi di triwulan I 2016. Setidaknya, dengan percepatan realisasi proyek-proyek infrastruktur dan bunga pembiayaan yang murah, tren pertumbuhan di atas 5,0 persen bisa kembali terjadi pada triwulan pertama 2016.

Selain faktor dari rendahnya bunga kredit, Sidqy menilai dampak dari kebijakan deregulasi perizinan sejak akhir 2015, akan mulai terasa pada awal 2016. Namun, dia mendorong agar pemangkasan regulasi yang tumpang tindih dilakukan lebih cepat.

Saat ini, ujarnya, masih ada 42 ribu regulasi di tingkat pemerintah pusat dan dearah yang menghambat pertumbuhan dunia usaha. Regulasi tersebut membebani struktur biaya operasional dunia usaha, yang pada akhirnya mengerek harga barang kepada konsumen.

"Inefisiensi ekonomi masih sering terjadi, terutama di daerah," ujarnya.

Mengenai dampak penurunan bunga acuan, Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung berharap industri perbankan dapat lebih cepat menyesuaikan suku bunga kreditnya. Namun, Juda melihat dampak dari pelonggaran kebijakan moneter BI itu bisa terasa dalam dua bulan ke depan.

"Pertumbuhan kredit bisa naik. Kita harap bisa lebih cepat," ujarnya.

Pemerintah tahun ini menargetkan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,3 persen dalam APBN 2016, didorong oleh investasi baik dalam maupun luar negeri, serta belanja pemerintah terutama proyek infrastruktur.

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2016