London (ANTARA News) - Keputusan Saudi Arabia membunuh negosiasi mengenai pembekuan secara terkoordinasi tingkat produksi minyak di Doha memastikan ada pergeseran besar dalam kebijakan minyak Saudi.

Selama berdekade-dekade, Saudi menegaskan tidak akan menggunakan minyak sebagai senjata diplomasi, namun akhir pekan ini negeri itu malah semakin intensif menggunakan minyak dalam konfliknya dengan Iran.

Posisi Saudi mengenai produksi minyak Irak semakin keras dan akhir pekan lalu telah mencapai kesimpulan logisnya.

Saudi tidak akan menerima pengetatan output minyak apa pun, sekalipun pada level terendah, kecuali Iran sepakat pada pengawasan serupa sampai produksi mencapai level prasanksi.

Dengan kukuh pada posisi garis keras ini, Saudi memastikan kesepakatan minyak bakal gagal, dan Saudi merasa nyaman dengan akhir seperti itu. Strategi Diplomatis seperti ini memuat pertimbangan pasar yang palsu.

Saudi memilih harga minyak terus rendah dan pendapatan minyak yang terus rendah pula untuk semua produsen minyak, tak terkecuali dirinya sendiri, ketimbang mencapai kesepakatan produksi yang akan menaikkan pendapatan Iran, si negeri kaya minyak yang menjadi pesaing Saudi di Teluk.

Iran sendiri sejak lama sudah berulangkali mengutarakan niatnya menaikkan tingkat produksi ke level prasanksi sebelum mempertimbangkan segala pengetatan demi menstabilkan harga. Posisi Iran ini diamini oleh banyak produsen minyak lainnya.

Menggenjot ekspor minyak dan pendapatan sebagai imbalan dari pengawasan aktivitas nuklirnya adalah bagian utama dari kesepakatan antara Iran dan para anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang dicapai pada Juli 2015.

Saudi terus menentang kesepakatan nuklit itu karena khawatir bakal memperkuat Iran secara ekonomi sehingga Iran bisa terus mendanai konflik-konflik terselubung di Lebanon, Suriah, Irak dan Yaman.

Hingga saat ini kebijakan minyak Saudi berada di tangan para teknokrat kementerian perminyakan dan BUMN minyak Aramco, ketimbang menjadi wilayah kebijakan luar negerinya.

Para pejabat Saudi sudah sejak lama meragukan Irak bisa cepat menaikkan ekspornya begitu sanksi dicabut.  Masalahnya, meningkatkan permintaan minyak dunia akan membuat pasar mengakomodasi keinginan Iran itu, demikian Reuters.




Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016