Jakarta (ANTARA News) - Pakar keamanan siber Pratama Persadha mengingatkan pemerintah untuk lebih meningkatkan kewaspadaan terhadap keamanan siber karena saat ini masyarakat sudah semakin terkoneksi dan bergantung pada layanan berbasis daring (online).

"Kita masih ingat dulu bagaimana lingkaran utama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu diketahui disadap oleh Australia, tentu ini mengkhawatirkan. Kini, saat Presiden Joko Widodo menaruh perhatian besar pada sektor siber, seharusnya pemerintah memikirkan sejauh mana aspek keamanan siber sebagai pendukungnya," kata Pratama dalam keterangan tertulis yang disampaikan saat berkunjung ke redaksi LKBN Antara, Selasa.

Pratama yang juga Ketua lembaga Communication and Information System Security Research Centre (CISSReC) itu mengatakan program e-Government yang dicanangkan Presiden Jokowi seharusnya tidak hanya memikirkan secara parsial keamanan dari setiap instansi, karena pertahanan siber tidak hanya bertujuan melindungi informasi penting strategis milik negara.

Namun, ujarnya, lebih jauh melindungi seluruh napas dan gerak masyarakat sehari-hari yang sangat tergantung dengan layanan berbasis "online".

"Berbagai informasi dari layanan berbasis online itu telah menjadi informasi yang nilainya sangat besar, sehingga seharusnya menjadi perhatian pemerintah," katanya.

Dia menyebutkan China dan Brazil yang secara terang-terangan melarang keberadaan WhatsApp. Bahkan negeri Tirai Bambu melarang keberadaan Google dan Facebook. Alasannya jelas, kedua negara itu tak ingin lalu lintas komunikasi dan kebiasan masyarakat di negerinya, secara bebas datanya dinikmati dan diolah asing.

Karena itulah, kata Pratama yang pernah menjadi salah satu petinggi di Lembaga Sandi Negara itu, butuh paradigma baru dalam mengejawantahkan konsep pertahanan NKRI dalam era modern. Salah satu yang paling penting adalah pertahanan siber, yang sekaligus tak akan lepas dari "cyber intelligence".

"Amerika misalnya, di bawah komando Presiden Obama membentuk dan memperkuat satuan khusus yang mengurusi keamanan siber. Tak tanggung-tanggung, Kongres AS menyetujui anggaran lebih dari Rp140 triliun hanya untuk urusan pertahanan siber," katanya.

Karena itu, lanjut dia, keberadaan "cyber intelligence" dan "cyber defence" juga harus diperkuat, agar informasi strategis tidak menjadi "kue" yang dibagi-bagi pihak asing.

Pratama juga menyebut sejumlah hal yang bisa dilakukan pemerintah, antara lain memodernisasi TNI, Polri dan BIN, dengan peralatan dan teknologi mutakhir yang mampu bersaing khususnya di era perang siber (cyber warfare) dan pertempuran asimetris (asymmetric warfare).

Selain itu, katanya, juga memperkuat SDM sebagai modal utama dalam kegiatan intelijen di wilayah siber.

Kemudian, katanya, memperkuat peran TNI, Polri dan BIN dalam bidang kontra intelijen, khususnya "cyber intelligence". Salah satunya dengan menggelar program perekrutan para programmer untuk membuat media sosial semacam facebook, twitter, atau whatsapp versi Indonesia, serta aktif mempromosikannya sehingga masyakat Indonesia tertarik menggunakannya.

"Dengan demikian data-data yang tadinya lari keluar negeri bisa ditahan hanya di server Indonesia," ujar Pratama Persadha. 

Pewarta: Arief Mujayatno
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016