Jakarta (ANTARA News) - Persyaratan calon pemimpin Yogyakarta yang tercantum dalam Pasal 18 huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 (UU KDIY) dinilai berlebihan oleh pakar hukum tata negara Saldi Isra.

"Syarat tambahan berupa kata istri dalam persyaratan calon pemimpin Yogyakarta tersebut berlebihan bila dibandingkan dengan syarat kepala daerah yang lain," ujar Saldi di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa.

Saldi mengatakan penilaiannya selaku ahli yang dihadirkan oleh pihak Pemohon yang mengajukan uji materi UU KDIY di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dia kemudian merujuk Pasal 7 UU Pilkada yang tidak mencantumkan nama istri atau pun suami dalam persyaratan calon pemimpin daerah.

Lebih lanjut Saldi juga mempertanyakan mengapa pencantuman syarat suami atau istri tidak menjadi syarat normatif yang dicantumkan dalam Undang-Undang Pilkada.

"Padahal secara posisi, jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sama dengan daerah lain," ujarnya.

Bahkan dalam level yang lebih tinggi, Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pun tidak meminta persyaratan pencantuman suami dan istri.

"Bisa dilihat dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008," tambahnya.

Oleh sebab itu, Saldi berpendapat bahwa ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf m UU Keistimewaan DIY tidak hanya berpotensi diskriminasi, namun juga memiliki potensi melanggar prinsip negara hukum.

Para Pemohon merupakan sebelas orang dengan beragam profesi, antara lain abdi dalem Keraton Ngayogyakarta, perangkat desa, pegiat anti diskriminasi hak asasi perempuan, serta aktivis perempuan ketua komnas perempuan 1998.

Adapun Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY mengatur tentang calon gubernur DIY yang harus menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.

Kata "istri" dalam pasal tersebut dinilai oleh Pemohon bertentangan dengan UUD 1945, karena seolah-olah hanya laki-laki saja yang berhak menjadi gubernur DIY.

Ketentuan itu juga dinilai oleh para Pemohon telah menimbulkan diskriminasi terhadap wanita, padahal UU Nomor 7 Tahun 1984 telah melarang perlakuan diskriminatif kepada wanita.

Oleh karena itu, Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 18 ayat (1) huruf m UU KDIY mengenai kata "istri" bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai istri atau suami.

Pewarta: Maria Rosari
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016