Jakarta (ANTARA News) - Pelemahan ekonomi global terus berlangsung, diikuti harga komoditas yang masih rendah dan aliran modal ke negara berkembang yang kembali turun, namun Indonesia berupaya melesat di tengah kondisi yang tidak menggembirakan itu.

Pertumbuhan ekonomi global 2016 diperkirakan hanya sekitar 3,0 persen, lebih rendah dari capaian 2015 yang sebesar 3,2 persen. Kelompok negara maju yang diharapkan menjadi penghela perekonomian global, seperti Amerika Serikat (AS), Eropa dan Jepang, kinerja ekonominya belum solid.

Referendum Brexit yang membawa Inggris keluar dari Uni Eropa, bahkan berpotensi menurunkan prospek ekonomi Eropa dalam jangka menengah. Kondisi ekonomi Tiongkok juga sama, masih melakukan konsolidasi dan menyesuaikan sumber-sumber pertumbuhan ekonominya.

Pelaku pasar juga diliputi ketidakpastian kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS (Fed Fund Rate) dan dampak geopolitik pascapemilu Presiden di AS. Berbagai ketidakpastian tersebut kemudian berdampak pada menurunnya aliran modal ke negara berkembang dan diikuti volatilitas perpindahan dana global.

Diperkirakan, kelesuan ekonomi global akan berlangsung dalam waktu yang lebih lama, yang akan semakin menekan negara berkembang, termasuk Indonesia. Bagaimanapun, sebagai negara dengan perekonomian terbuka, Indonesia tidak terisolasi dari kondisi global yang belum kondusif tersebut.

Sejauh ini, dampak pelemahan ekonomi global telah terasa pada perekonomian Indonesia, terutama di sektor pasar keuangan dan perdagangan meskipun tidak separah negara-negara berkembang lainnya.

Perekonomian domestik yang lentur dan masih memiliki banyak potensi membuat Indonesia tetap bisa mencatat pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih baik ketimbang negara-negara lain, bahkan salah satu yang terbaik di dunia.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memperkirakan kondisi ketidakpastian global masih akan berpengaruh signifikan terhadap perekonomian Indonesia pada 2017.

"Kondisi global sangat mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia saat ini, dan diperkirakan akan berlanjut pada 2017," kata Sri Mulyani saat penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2017 di Istana Negara Jakarta, Rabu (7/12).

Sri Mulyani menyebutkan APBN 2017 yang disetujui DPR akhir Oktober 2016 disusun dalam kondisi masih memghadapi lingkungan dalam dan luar negeri yang sangat menantang.

"Mulai dari kondisi perekonomian AS, terpilihnya Presiden AS Donald Trumph, maupun kebijakan ekonomi moneter negara-negara maju dan kondisi perekonomian Tiongkok," tutur Sri Mulyani.

Sementara itu Dana Moneter Internasional (IMF) dalam penilaian awal atas ekonomi Indonesia tahun 2016 yang dimuat dalam laporan hasil asesmen konsultasi tahunan IMF (Article IV Consultation), menyampaikan bahwa kinerja perekonomian Indonesia tetap dalam kondisi baik, didukung oleh bauran kebijakan makroekonomi dan reformasi struktural yang sehat.

Otoritas mampu mengelola perekonomian dengan baik di tengah dinamika perubahan kondisi perekonomian global. Pertumbuhan ekonomi tetap kuat, inflasi telah menurun signifikan, dan defisit transaksi berjalan tetap terjaga. Semua pencapaian itu mendukung outlook perekonomian yang positif.

Tim IMF yang dipimpin oleh Luis E Breuer telah mengunjungi Indonesia 7 hingga 18 November 2016. Article IV Consultation IMF merupakan bagian dari aktivitas monitoring (surveillance) IMF yang dilakukan satu kali dalam setiap tahun terhadap setiap negara anggota. Tim bertukar pandangan dengan Pemerintah, Bank Indonesia dan lembaga publik lainnya, serta perwakilan dari sektor swasta, akademisi dan mahasiswa tentang perkembangan ekonomi dan pasar keuangan terkini dan prospek jangka pendek-menengah.

Selanjutnya, Tim IMF menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi 2016 diperkirakan sebesar 5,0 persen, terutama didorong konsumsi swasta yang kuat. Pada tahun 2017 pertumbuhan diperkirakan sebesar 5,1 persen, didorong oleh konsumsi swasta serta investasi swasta yang perlahan membaik sebagai respons atas membaiknya harga komoditas dan tingkat suku bunga yang lebih rendah.

Inflasi diperkirakan meningkat dari 3,3 persen pada 2016 menjadi sedikit di atas nilai tengah kisaran target 3-5 persen pada akhir 2017, terutama sebagai dampak alokasi subsidi listrik yang lebih baik. Defisit transaksi berjalan diperkirakan meningkat dari 2,0 persen dari PDB pada tahun 2016 menjadi 2,3 persen dari PDB pada tahun yang akan datang karena peningkatan investasi dan impor.

Risiko yang dihadapi utamanya muncul dari eksternal, yang bersumber dari ketidakpastian mengenai kebijakan pemerintah baru Amerika Serikat, kondisi keuangan global yang lebih ketat, pertumbuhan Tiongkok yang lebih lemah dibanding perkiraan, pengetatan kebijakan moneter yang lebih cepat di Amerika Serikat, dan kembali menurunnya harga komoditas. Risiko domestik meliputi bantalan fiskal (fiscal buffer) yang lebih rendah, yang mencerminkan penurunan penerimaan pajak atau tingginya tingkat bunga di tengah kondisi keuangan global yang lebih ketat.

Strategi fiskal Pemerintah, dengan memperluas basis pendapatan dan meningkatkan pengeluaran yang mampu mendukung pertumbuhan dengan tetap memelihara defisit agar berada dalam "fiscal rule" sebesar tiga persen dari PDB, dianggap akan mendukung stabilitas dan pertumbuhan yang inklusif dalam jangka menengah. Otoritas fiskal juga telah memulai konsolidasi fiskal secara bertahap.

Revisi anggaran 2016 yang telah disetujui DPR pada Agustus 2016 telah mencakup proyeksi pendapatan dan juga pengeluaran yang lebih sehat dengan tetap menjamin prioritas pengeluaran Pemerintah. Namun demikian, lemahnya pendapatan pajak dapat tetap menjadi kendala bagi Pemerintah.

Dalam anggaran 2017, bantalan fiskal kembali dipupuk, yang tercermin dari target defisit yang lebih rendah (2,4 persen dari PDB). Tim IMF menyambut baik rencana untuk memperluas basis pajak, memperbaiki sasaran subsidi, meningkatkan transfer dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, dan memastikan pembiayaan untuk investasi publik dan program sosial.

Otoritas fiskal berencana untuk merevisi ketentuan perpajakan pada tahun 2017. Peninjauan atas pembiayaan sektor pertanian, kesehatan, dan pendidikan yang sedang berlangsung diharapkan mampu meningkatkan efisiensi pengeluaran. Implementasi dari beberapa hal tersebut akan memperkuat kerangka fiskal pada jangka menengah dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktivitas dan infrastruktur yang lebih baik.

Tim IMF juga memandang bahwa stance kebijakan moneter saat ini sudah tepat. Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga kebijakan pada 2016 di tengah tekanan inflasi yang menurun dan tekanan eksternal yang berkurang. Implementasi suku bunga kebijakan BI yang baru (BI 7-day Reverse Repo Rate) pada Agustus 2016 telah berjalan lancar.

Dengan kondisi ketidakpastian eksternal saat ini, tim IMF mendukung keputusan BI terakhir untuk mempertahankan suku bunga kebijakan, serta memberikan ruang bagi penyesuaian nilai tukar dan yield Surat Berharga Negara (SBN), dengan melakukan intervensi untuk memastikan pasar keuangan berjalan dengan baik. Upaya menjaga ruang kebijakan tersebut menjadi penting untuk memberikan kesempatan bagi perekonomian dalam melakukan penyesuaian terhadap kondisi eksternal yang bergejolak.

Indikator sektor keuangan menunjukkan bahwa sektor perbankan Indonesia memiliki permodalan yang kuat dan profitable. Non Performing Loans (NPL) menunjukkan kenaikan dari tingkat sebelumnya yang rendah dan indikator lainnya menunjukkan kenaikan tersebut kemungkinan tidak akan berlanjut. Kemajuan yang signifikan telah dicapai dengan disetujuinya Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK).

Tim IMF sependapat dengan otoritas bahwa peraturan pelaksanaan dari UU PPKSK perlu segera diterbitkan. Selain itu, kemajuan juga telah dicapai dengan adanya pengawasan sektor keuangan yang terkonsolidasi dan pemantauan yang ketat terhadap perkembangan korporasi dan sektor keuangan, yang masih memiliki sejumlah kerentanan. Pemberlakuan kewajiban lindung nilai (hedging) untuk pinjaman korporasi dalam mata uang asing akan membantu memitigasi kerentanan tersebut.

Selanjutnya, sebagai kelanjutan reformasi subsidi BBM di tahun 2015, otoritas di Indonesia telah mengimplementasikan reformasi untuk memperbaiki iklim bisnis, termasuk terkait infrastruktur, regulasi, pembukaan akses sejumlah sektor ekonomi untuk pihak swasta, serta penetapan formula upah minimum yang baru. Tim IMF sependapat dengan otoritas mengenai kebutuhan untuk tetap melanjutkan reformasi struktural pada area- area tersebut untuk mendukung investasi swasta dan pertumbuhan ekonomi.

Sementara itu untuk pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV 2016, BI melihat akan lebih baik dari perkiraan sebelumnya. BI memperkirakan pada periode terakhir 2016 ekonomi domesik akan tumbuh mendekati 5,0 persen.

"Awalnya kami memerkirakan kuartal IV sebesar 4,8 persen tapi sekarang kuartal IV menurut BI sudah bisa mendekati lima persen jadi angkanya sekitar 4,9 persen lebih," kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara di Jakarta, Jumat (16/12).

Menurut Mirza, perbaikan ekonomi di sisa tahun 2016 dipengaruhi tiga hal. Pertama, sesuai trennya belanja pemerintah di kuartal-IV meningkat dibanding kuartal sebelumnya sehingga menambah stimulus fiskal bagi perekonomian.

Kedua, lanjut Mirza, perbankan sudah mulai mengakhiri era konsolidasinya sehingga kredit perbankan di akhir tahun 2016 ini telah gencar. Pasokan kredit perbankan ini juga banyak terdongkrak karena permintaan swasta akibat realisasi belanja pemerintah.

"Angka pertumbuhan kredit di Oktober dan November 2016 itu sudah lebih baik," ujarnya. Menurut data BI, kredit perbankan pada November 2016 tumbuh 8,5 persen, lebih tinggi dari Oktober 2016 yang sebesar 7,5 persen.

Faktor ketiga adalah perbaikan kinerja ekspor. Membaiknya ekspor, lanjut Mirza, karena meratanya pemulihan harga komoditas. Meskipun turun, neraca perdagangan Indonesia pada November 2016 mencatat surplus 840 juta dolar AS, sedangkan Oktober 2016, suprlus 1,21 miliar dolar AS.

Secara akumulasi, BI memperkirakan ekonomi Indonesia pada 2016 akan tumbuh 5 persen. Pada tahun depan, pertumbuhan ekonomi diperkirakan terakselerasi ke 5,0-5,4 persen.

Perekonomian domestik yang lentur dan masih memiliki banyak potensi membuat Indonesia tetap bisa mencatat pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih baik ketimbang negara-negara lain, bahkan salah satu yang terbaik di dunia.

Lenturnya perekonomian nasional dalam merespons perlambatan ekonomi global setidaknya didorong dua aspek yakni konsistensi dalam menjaga stabilitas ekonomi dan kebijakan "countercyclical" yang ditempuh pemerintah dan Bank Indonesia. Buah konsistensi dalam menjaga stabilitas ekonomi tercermin pada inflasi yang rendah dan stabil, nilai tukar rupiah yang terkendali, defisit transaksi berjalan dan defisit APBN 2016 yang berada dalam kondisi yang sehat, serta ketahanan perbankan dan sistem keuangan yang kuat.

Adapun kebijakan "countercyclical" tercermin dari stimulus fiskal yang besar melalui belanja infrastruktur serta deregulasi dan debirokratisasi pemerintah melalui berbagai paket kebijakan. Pelonggaran kebijakan moneter yang ditempuh BI dalam setahun ini seperti menurunkan suku bunga kebijakan hingga 150 bps dan Giro Wajib Minimum (GWM) hingga 150 bps juga turut mendorong perbaikan permintaan domestik.

Suku bunga acuan, yakni BI 7-day Reverse Repo Rate saat ini berada pada level terendah yakni 4,75 persen. Stabilitas ekonomi yang terjaga dan risiko ekonomi yang terkendali diharapkan akan memberikan keleluasaan gerak bagi pelaku ekonomi untuk mengembangkan usahanya.

Yang perlu dilakukan untuk menjaga kelenturan ekonomi Indonesi adalah mengoptimalkan berbagai potensi domestik yang ada untuk memperkuat fundamental ekonomi sekaligus meningkatkan resiliensi (daya tahan) perekonomian nasional.


Tiga potensi ekonomi

BI menilai setidaknya ada tiga potensi ekonomi yang perlu dioptimalkan untuk menopang ketahanan ekonomi Indonesia. Pertama, kepercayaan dan keyakinan yang tinggi saat ini dari pelaku ekonomi terhadap pemerintah dan pemangku kebijakan.

Kedua, munculnya sumber pembiayaan ekonomi yang cukup besar dari Program Amnesti Pajak. Ketiga, teknologi digital yang berkembang pesat di Indonesia.

Ketiga, potensi yang menonjol pada tahun 2016 tersebut, bila diberdayakan dengan efektif dan optimal, tentu akan semakin memperkuat dan menggandakan manfaat dari potensi sumber daya domestik yang sebelumnya sudah ada, yakni sumber daya manusia dan sumber daya alam. Potensi-potensi tersebut, menurut BI harus diarahkan untuk mengurangi kesenjangan pendapatan dan memperluas daya serap tenaga kerja.

Selain tiga potensi tersebut, sebenarnya masih banyak potensi lain yang sudah sejak lama terindentifikasi namun belum optimal dimanfaatkan hingga kini. Salah satunya adalah sektor maritim. Saat ini, kontribusi sektor maritim non-migas terhadap perekonomian Indonesia masih sangat kecil padahal Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.

Transaksi berjalan yang beberapa tahun ini mengalami defisit juga disumbang oleh defisit neraca jasa, khususnya berasal dari jasa transportasi laut. Menurut BI, ada dua cara untuk mengoptimalkan potensi maritim yakni membangun infrastruktur pelabuhan dan mengembangkan industri perkapalan dalam negeri.

Untuk mendukung pemanfaatan potensi sekaligus memperkuat daya lentur perekonomian nasional, sesuai kewenangannya, BI akan mengoptimalkan tiga pilar kebijakan utama yakni kebijakan moneter, makroprudensial, serta sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah.

Kebijakan moneter tetap difokuskan pada upaya memelihara stabilitas makroekonomi yang sudah tercipta. Fokus kebijakan moneter ini akan disinergikan dengan kebijakan makroprudensial yang diarahkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Sementara itu, kebijakan sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah akan tetap ditujukan untuk meningkatkan efisiensi perekonomian serta mendukung berjalannya transmisi kebijakan moneter dan makroprudensial dengan baik.

Terkait hal itu, secara teknis BI akan mengeluarkan sejumlah aturan. Salah satunya BI mulai memperkenalkan sistem Giro Wajib Minimum (GWM) Averaging pada tahun 2017. Berbeda dengan sistem GWM yang saat ini berlaku, sistem GWM Averaging hanya mewajibkan bank untuk memelihara rata-rata kecukupan GWM dalam satu maintenance period. Dengan kelonggaran itu diharapkan transaksi antar bank akan semakin aktif, gejolak suku bunga dapat lebih terkendali, dan transmisi kebijakan moneter semakin kuat.

BI juga akan memperkuat dan memperluas cakupan surveilans makroprudensial terhadap rumah tangga, korporasi dan grup korporasi non-keuangan. Hasil asesmen BI menunjukkan pelemahan kinerja korporasi nonkeuangan dapat menimbulkan potensi risiko terhadap sistem keuangan, khususnya perbankan.

Pada akhir Desember 2016, BI akan meluncurkan cetak biru pengembangan ekonomi dan keuangan syariah. Program difokuskan untuk penguatan sektor keuangan sosial syariah (islamic social finance) dan pendalaman pasar keuangan syariah.

Terkait UMKM, BI melaksanakan kebijakan pengembangan UMKM melalui dua pendekatan utama, yaitu mendorong peran intermediasi perbankan kepada UMKM dan peningkatan kapasitas ekonomi UMKM.

Hal itu dilakukan karena dukungan pembiayaan kepada UMKM di Indonesia hanya mencapai 7,2 persen dari PDB, jauh lebih rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Thailand, Korea dan Kamboja.

Di bidang sistem pembayaran, BI akan mengakselerasi National Payment Gateway (NPG) dan mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk melakukan pemrosesan transaksi keuangan di domestik, menempatkan data di domestik, menyimpan dana di perbankan nasional, menggunakan central bank money, dan mematuhi kewajiban penggunaan rupiah di wilayah Indonesia.

Dengan sinergi BI dan pemerintah dalam mengoptimalkan potensi ekonomi, pondasi perekonomian domestik ke depan akan lebih kuat dan lentur untuk mendorong pertumbuhan yang berkesinambungan.

Dalam jangka pendek, saat perekonomian global belum pulih, dampaknya memang belum signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi domestik. Namun, ketika perekonomian global kembali pulih, perekonomian Indonesia niscaya akan tumbuh lebih cepat.

Pada tahun 2017, BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi akan mencapai 5,0-5,4 persen. Dengan resiliensi yang lebih kuat, perekonomian di tahun 2017 dinilai akan menjadi titik balik pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih kokoh. Dengan landasan tersebut, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada periode 2018-2021 akan mencapai kisaran 5,9-6,3 persen, dengan ditopang inflasi yang rendah.

(A039/M026)

Oleh Agus Salim
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016