Jakarta (ANTARA News) -  Ziconotide adalah venom yang 1.000 kali lebih efektif menghilangkan rasa sakit dibanding morfin tanpa menyebabkan adiktif. 

Ziconotide yang dijual dengan merek Prialt ini tidak menyebabkan toleransi obat pada pasien, dan telah diresepkan untuk orang-orang yang menderita rasa sakit dan berkepanjangan seperti yang mungkin dialami oleh mereka yang menderita jenis kanker tertentu atau orang-orang yang mengalami nyeri neuropatik. 

Tidak hanya khasiatnya saja, harga Ziconotide yang dihasilkan dari cangkang siput laut kecil yang mungkin selama ini tidak pernah dilirik orang ini juga sangat mencengangkan. 

"Harga satu gram Ziconotide yang dijual sebagai antagonis selektif dari N-type Voltage Sensitive Calcium Channels (VSCC) mencapai 6,5 juta dolar AS," kata peneliti senior mikrobiologi LIPI Endang Sukara.

Endang mengemukakan hal tersebut pada Focus Group Discussion "Pentingnya Kebun Raya Dalam Perlindungan Plasma Nutfah di Indonesia". Acara tersebut diadakan Yayasan Kebun Raya Indonesia (YKRI) bersama Kompas di Jakarta, Kamis (23/2).

Keanekaragaman hayati (kehati) merupakan keragaman makhluk hidup yang menunjukkan keseluruhan variasi gen, spesies dan ekosistem dari tumbuhan, hewan dan mikroba di suatu daerah. 

Contoh lain tentang pemanfaatan kehati pada industri yang menhasilkan puluhan juta dolar misalnya Phalaenaopsis. Genus anggrek penghuni hutan Indonesia itu telah berhasil mendatangkan devisa bagi Taiwan sebesar 50 juta dolar di 2008.

"Angka tersebut lebih tinggi dari apa yang dihasilkan dari minerba (mineral dan batu bara) di negara tersebut," kata peneliti senior lainnya dari Pusat Penelitian Biologi LIPI Rosichon Ubaidillah, dalam kesempatan berbeda.

Dalam paparannya, Rosichon menunjukkan usulan kuota tangkap Tumbuhan Satwa Liar (TSL) 2016 baik yang masuk appendix dan nonappendix CITES untuk mamalia ada 37 jenis dengan jumlah 45.360 ekor, reptil dan amfibi ada 520 jenis dengan jumlah 714.735 ekor (995.755 dalam bentuk kulit), burung 190 jenis dengan jumlah 75.015 ekor, serangga 550 jenis dengan jumlah 70.605 ekor, serta ikan 650 jenis dengan jumlah 2.367.471 ekor. Devisa dari perdagangan TSL pada 2014 sempat mencapai Rp1 triliun.

Jika dari dua keanekaragaman hayati saja nominalnya sudah mencapai puluhan juta dolar AS, lalu bisakah dibayangkan berapa yang dapat diperoleh Indonesia dari 25.000 spesies bunga, 250.000 spesies serangga, 20.000 spesies moluska, 8.500 spesies ikan, 1.500 spesies burung, 500 spesies mamalia, 2.000 spesies reptilia, 12.000 spesies jamur dan spesies-spesies lainnya yang belum disebutkan?

Ancaman kehati
Faktor penyebab penurunan keanekaragaman hayati secara tidak langsung adalah peningkatan populasi, pola konsumsi hingga tidak adanya efisiensi sumber daya. Sedangkan tekanan langsung untuk keanekaragaman hayati dan ekosistemnya adalah agrikultur dan kehutanan, perburuan dan perikanan tangkap, perkembangan urban dan industri, penggunaan air, energi dan transportasi.

Sementara faktor penyebab menurunnya keanekaragaman hayati untuk tingkat global adalah hilangnya habitat, alih fungsi dan fragmentasi, eksploitasi berlebih, spesies invasif, polusi dan perubahan iklim.

Data LIPI (2012) untuk kasus kehilangan kehati ikan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung saja menunjukkan pada 1910-1920 mencapai 15,5 persen atau 29 spesies, pada 1930-1940 mencapai 66,3 persen atau 124 spesies, pada 1960-1970 mencapai 78.1 persen atau 146 spesies, pada 1980-1990 mencapai 90 persen atau 170 spesies dan pada 1990-2009 mencapai 92 persen atau 172 spesies. Kondisi memprihatinkan juga terjadi di DAS Cisadane.

LIPI juga mencatat bahwa Indonesia merupakan daerah ruaya 51 persen sidat dunia. Namun kerusakan daerah ruaya di muara sungai dan danau menjadi ancaman keberlangsungan sidat.

Berdasarkan data Daftar Merah The International Union for Conservation of Nature (IUCN) 2015, Indonesia berada di peringkat ke-6 dalam jumlah tumbuhan terancam kepunahan setelah Ekuador, Malaysia, Brasil, Tanzania dan Cina.

Biopiracy
Sebagai mega "biodiversity country" dengan 47 jenis ekosistem Indonesia layaknya sebuah pusat perkulakan, begitu lengkap, nyaris semua ada. Indonesia menjadi "laboratorium alam" yang begitu diminati oleh peneliti-peneliti asing dunia, dan tidak jarang menjadi target pembajakan aset kehati atau yang dikenal dengan istilah biopiracy.

Berdasarkan data Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti), Direktur Pengelolaan Kekayaan Intelektual Kemristekdikti Sadjuga mengatakan jumlah Surat Ijin Penelitian (SIP) Asing yang dikeluarkan sangat bervariasi dari tahun ke tahun. Jumlah tertinggi tercatat sejak tahun 2000 ada di 2010 mencapai 547, diikuti 2013 mencapai 546, 2012 mencapai 544, sedangkan di 2016 hingga bulan Oktober mencapai 422.

Peneliti asing terbanyak datang dari Amerika Serikat mencapai 633 orang, diikuti dari Jepang 504 orang, Jerman 330, Prancis 248 orang, Inggris 225 orang, Cina 165 orang, Australia 157 orang, Belanda 130 orang, Kanada 66 orang dan Swiss 44 orang.

Menurut Sadjuga, lokasi-lokasi yang diminati begitu beragam mewakili sekitar 14 bidang studi, mulai dari geologi, klimatologi, kebencanaan, kehati, biologi, kehutanan atau konservasi, kelautan, ekologi, geografi, kesehatan, antropologi, sosial, agama hingga budaya.

Sadjuga memberikan beberapa contoh kasus yang merugikan bagi Indonesia adalah studi malaria dan TBC antara Menzies dengan Balitbangkes di mana peneliti asing tidak mengikuti aturan Material Transfer Agreement (MTA), penelitian perikanan antara Institut de Rechere pour le Developpement (IRD) dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di mana dua paten atas nama IRD diterbitkan di Prancis tanpa menyebutkan kontribusi peneliti Indonesia.

Contoh kasus lainnya adalah penelitian kehati antara University California (UC) Davis dengan LIPI, peneliti LIPI menemukan spesies baru tawon raksasa namun dipublikasikan peneliti asing tanpa izin.

Rosichon mengatakan modus biopiracy yang juga terjadi adalah universitas asing yang mensyaratkan mahasiswa Indonesia membawa sampel kehati untuk bahan tesis atau disertasinya. "Ada yang diminta mengumpulkan terong liar dari Indonesia. Koleksinya di sana jadi lengkap".

Kasus lain yang baru-baru ini terungkap adanya publikasi yang dilakukan Institute Of Critical Zoologists (ICZ) dari Jepang hasil ekspedisi di Pulau Pejantan, Kepulauan Riau, tanpa izin. Sebelumnya melalui laman resmi ICZ, http://criticalzoologists.org/projects/pulau_pejantan/pulau_pejantan.html disebutkan bahwa peneliti-peneliti di bawah Dr Darrel Covman dari ICZ yang juga merupakan Project Manager Scientific Committee on Pacific Research Island Biodiversity Information Systems (SCPR-IarBIS) dilakukan sebanyak tiga kali di Pulau Pejantan yang dilakukan pada periode antara 2005 dan 2009.

Dalam lamannya ICZ juga menyebutkan, Pulau Pejantan merupakan pulau terpencil Indonesia. Terisolasi di Samudera Pasifik, 70 persen dari diperkirakan 600 spesies yang ditemukan di pulau tersebut tidak ditemukan di tepat lain di bumi ini.

Selain menemukan spesies-spesies baru ICZ menyebut menemukan geiser hitam dan bukit pasir, cacing pasir yang aneh yang bergerak seperti kumpulan ular di dekat bukit pasir, ikan lentera di dalam laut sebelum mendekati pulau.

"Ternyata kami tidak pernah menberikan izin penelitian kepada peneliti dari lembaga tersebut. Ini suatu pelanggaran," kata Sadjuga saat dikonfirmasi Antara.

Bentuk penyampaian melalui situs seperti yang dilakukan ICZ, menurut Sadjuga, sudah merupakan bentuk publikasi, karenanya Pemerintah akan mengusutnya lebih lanjut. "Sudah dilaporkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Badan Intelejen Negara sekarang sedang menunggu hasilnya".

Pewarta: Virna Puspa Setyorini
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017