Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Umum Indonesian Mining Institute Hendra Sinadia menilai untuk menjamin kelangsungan investasi jangka panjang di sektor pertambangan, maka investor membutuhkan jaminan kestabilan investasinya.

Menurut dia, di Jakarta, Selasa, industri pertambangan memiliki karakteristik yang unik dan berbeda dibandingkan industri lainnya.

Industri pertambangan umumnya bersifat investasi jangka panjang dan padat modal dengan deposit mineral umumnya berada di wilayah terpencil (remote area) dan minim infrastruktur, sehingga berisiko tinggi di berbagai aspek seperti teknis, geologi, pasar, fiskal, kebijakan (policy) dan lingkungan hidup.

Dengan karakteristik yang unik tersebut, lanjutnya, maka umumnya investor pertambangan menginginkan rezim aturan yang khusus agar investasi jangka panjangnya terjamin.

Isu kestabilan investasi itu mencuat di saat perundingan antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia sedang berlangsung.

Freeport bersedia melepaskan kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dengan beberapa syarat antara lain adanya perjanjian stabilitas investasi (investment stability agreement/ISA).

"Jaminan tersebut diperlukan tidak saja bagi PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara, tapi juga bagi produsen mineral lainnya dan bahkan perusahaan batubara para pemegang PKP2B. Dalam beberapa tahun ke depan, beberapa perusahaan PKP2B, kontraknya akan berakhir dan akan berubah menjadi IUPK," ujar Hendra.

Menurut dia, pelaku industri pertambangan mengkhawatirkan kepastian investasi jangka panjangnya jika berubah menjadi IUPK.

Apalagi, dalam UU No. 4/2009 diatur pula pungutan tambahan 10 persen dari keuntungan bersih bagi pemegang IUPK.



Lebih tertarik KK

Hendra juga mengatakan investor sebenarnya lebih tertarik dengan skema KK atau PKP2B karena faktor stabilisasi perpajakannya, meskipun tarif PPh badan dalam KK/PKP2B jauh lebih tinggi dari tarif berlaku.

Dicontohkan, tarif PPh badan pemegang PKP2B generasi I mencapai 45 persen dan KK generasi V dan VI sebesar 35 persen, sementara PPh saat ini hanya 25 persen dan 20 persen bagi perusahaan yang terdaftar di bursa.

"Dengan adanya ISA, maka paling tidak perusahaan dapat memproyeksikan investasi mereka untuk beberapa puluh tahun ke depan. Perusahaan membutuhkan ISA agar tarif PPh, tarif royalti dan pungutan lainnya tidak selalu berubah-ubah. Sektor pertambangan di Tanah Air sangat rentan dengan perubahan kebijakan fiskal, seperti tahun 2013 dan 2015, saat pemerintah mewacanakan kenaikan tarif royalti batubara bagi pemegang IUP meski di periode tersebut harga komoditas sedang dalam level rendah." katanya.

ISA, lanjutnya, diyakini dapat memproteksi penambang dari berbagai risiko perubahan kebijakan baik dari aspek perpajakan, keuangan, teknis, nilai tambah, termasuk bea keluar.

Ia menambahkan di sektor pertambangan global, keberadaan ISA adalah hal yang lumrah dan diterapkan di banyak negara produsen mineral mengingat karakteristik sektor pertambangan.

ISA menjadi salah satu daya tarik utama selain tentunya deposit mineralnya.

Menurut dia, Ghana dan Mongolia adalah sedikit contoh produsen mineral yang menerapkan ISA, yang diatur secara spefisik dan berlaku pada skala investasi tertentu.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Center of Indonesian Tax Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai faktor kepastian usaha pada industri pertambangan, yang membutuhkan biaya besar, menjadi pertimbangan investor.

"Investor membutuhkan jaminan kestabilan dan kepastian hukum, apalagi di sektor tambang yang memang perlu investasi besar dan tinggi resiko," ujarnya.

Ia menambahkan, selain kepastian hukum, aspek keekonomian menjadi hal yang mutlak dalam investasi sektor tambang.

Salah satu yang dibutuhkan untuk mencapai skala keekonomian adalah insentif.

Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017