Jakarta (ANTARA News) - Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) genap berusia 50 tahun pada Selasa (8/8). Selama lima dekade kehadirannya, pencapaian dan kontribusi organisasi regional ini tak dapat dianggap kecil dalam ikut menjaga dan mempromosikan perdamaian dan stabilitas kawasan.

Di tengah keberhasilan yang ditorehkan sepanjang lima dekade kehadirannya itu, ASEAN juga menghadapi berbagai tantangan regional dan global yang secara langsung dan tak langsung memengaruhi kepentingan bersama dan kepentingan nasional 10 negara anggotanya.

Di antara tantangan-tantangan serius yang dihadapi organisasi regional ini dalam dua dekade terakhir adalah beragam tindak kejahatan lintasnegara, seperti perdagangan manusia, terorisme, penyelundupan narkoba, dan sengketa Laut China Selatan.

Bahkan, tantangan berupa sengketa Laut China Selatan tersebut tidak hanya melibatkan kepentingan nasional China dan negara-negara yang terlibat dalam soal klaim tumpang tindih kedaulatan atas wilayah perairan yang diyakini kaya akan sumberdaya energi dan perikanan itu.

Selain menyeret kepentingan nasional negara-negara pengklaim seperti Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, dan Vietnam, sengketa wilayah tersebut juga telah memicu rivalitas China dan Amerika Serikat (AS).

Rivalitas kedua raksasa ekonomi dunia di perairan yang "diyakini pejabat AS mengandung cadangan minyak dan gas yang setara dengan cadangan minyak di Meksiko" (Pete Cobus, VOA) ini semakin jelas dalam dua tahun terakhir.

Pada Desember 2015, misalnya, satu pewasat pembom B-52 Angkatan Udara AS dituding China terbang terlalu dekat dengan wilayah udara Laut China Selatan. Insiden ini memicu kemarahan Beijing yang menuding AS melakukan "provokasi militer serius" (The Telegraph, 2015).

Lima bulan setelah insiden tersebut, sebuah pesawat militer AS yang terbang di wilayah udara perairan Laut China Selatan dihadang dua jet tempur China (BBC, 2016).

Insiden penghadangan kembali terjadi pada Mei 2017 di mana satu pesawat AS yang sedang terbang dalam apa yang disebut pihak militer AS sebagai "misi mendeteksi radiasi di ruang udara internasional perairan Laut China Timur" dihadang dua Sukhoi Su-30 China (BBC, 2017).

Ketiga insiden terpisah yang terjadi pada rentang 2015 - 2017 di wilayah udara perairan Laut China Selatan dan Laut China Timur yang diklaim China secara sepihak sebagai teritori kedaulatannya itu semakin menguatkan tajamnya rivalitas Beijing dan Washington.

Menanggapi insiden pesawat militernya dengan China terkait wilayah perairan yang disengketakan China dan sejumlah negara Asia lainnya itu, AS berjanji untuk melanjutkan misi penerbangan, pelayaran dan operasi apa pun yang dibolehkan hukum internasional.

Tidak cukup dengan janji untuk melanjutkan operasi apa pun yang dibolehkan hukum internasional di wilayah-wilayah maritim dunia itu, AS juga bertekad untuk membantu sekutu-sekutu dan mitra-mitranya guna memperkuat kemampuan kemaritiman mereka.

Di tengah keprihatinan AS dan banyak negara lain terhadap langkah-langkah China yang terus memperkuat eksistensi dan jangkauan militernya di wilayah sengketa Laut China Selatan, kehadiran Kode Tata Prilaku (CoC) Laut China Selatan dirasa semakin penting.

Signifikansi kehadiran CoC yang terus dirundingkan ASEAN dan China tersebut semakin nyata di tengah dinamika seputar revalitas kedua raksasa ekonomi dunia ini maupun soliditas internal ASEAN sendiri dalam berhadapan dengan Beijing.

Diharapkan CoC tersebut dapat mencegah para pihak yang bersengketa di maupun yang berkepentingan dengan wilayah Laut China Selatan yang disengketakan itu dari melakukan tindakan-tindakan yang dapat memicu pecahnya konflik terbuka.

Bagi AS, dipandang dari fungsi srategisnya sebagai rute perdagangan dunia dan salah satu arena pertarungan pengaruh hegemoni Washington versus Beijing di kawasan, isu Laut China Selatan dianggap penting.

Karenanya, Pemerintah AS memasukkan isu tersebut ke dalam agenda konferensi tingkat tinggi para pemimpin ASEAN dan AS di Sunnylands, Kalifornia, tahun lalu, yang menghasilkan sebuah deklarasi yang menguntungkan posisi tuan rumah.

Setidaknya ada tiga dari 17 poin dalam Deklarasi Sunnylands yang dihasilkan KTT pemimpin AS dan mitranya dari Indonesia, Brunei, Filipina, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand dan Vietnam itu yang menyentuh isu sensitif ini.

Ketiga poin tersebut menunjukkan komitmen bersama para pemimpin ASEAN dan AS pada resolusi damai atas sengketa Laut China Selatan, termasuk penghormatan penuh atas proses-proses hukum dan diplomatik, tanpa mengedepankan ancaman atau penggunaan kekuatan, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui secara universal dan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982.

Bersama presiden AS saat itu, para pemimpin ASEAN ini juga berkomitmen untuk "mendukung kerja sama dalam menjawab tantangan-tantangan bersama di bidang maritim".

Sekalipun kata "Laut China Selatan" tidak disebut dalam Deklarasi Sunnylands tersebut, presiden AS ketika itu sempat menjelaskannya dalam konferensi pers.

Barack Obama (presiden AS saat itu) mengatakan bahwa dia dan mitranya dari 10 negara anggota ASEAN sempat membicarakan perlunya langkah-langkah yang jelas di Laut China Selatan untuk mengurangi ketegangan, termasuk mencegah reklamasi lebih lanjut, pembangunan baru, dan militerisasi atas wilayah-wilayah yang disengketakan.

Selain itu, AS memandang kebebasan navigasi dan perdagangan sebagai dua hal yang harus senantiasa terjamin di wilayah perairan yang disengketakan China, Taiwan, dan empat negara anggota ASEAN tersebut.

Dalam menyikapi isu ini, sepuluh negara anggota perhimpunan ini tak selalu berjalan seiring. Sebaliknya, soliditas ASEAN tampak rampuh saat berhadapan dengan China seperti tampak dalam KTT Kamboja tahun 2012.

Di Kamboja itu, untuk pertama kali dalam sejarahnya, para pemimpin organisasi regional yang diproyeksikan akan menjadi blok terbesar keempat di dunia pada 2030 mengakhiri pertemuan mereka tanpa pernyataan bersama akibat tak sepakat tentang bagaimana menghadapi klaim China atas Laut China Selatan.

Bagaimana posisi Indonesia? Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia tak termasuk di antara negara-negara yang mengklaim kedaulatan atas Kepulauan Spratly dan Paracel di perairan Laut China Selatan yang kaya potensi minyak dan gas bumi serta perikanan itu.

Namun, suka tidak suka, ketegangan yang meningkat antara China dan negara-negara pengklaim lainnya akan mengancam perdamaian dan stabilitas di kawasan yang secara langsung turut memengaruhi kepentingan nasional Indonesia.

Karenanya, posisi terbaik bagi Indonesia adalah mempertahankan netralitasnya seraya terus aktif mendukung setiap upaya mewujudkan resolusi damai di Laut China Selatan terlebih lagi wilayah sengketa ini secara geografis berdekatan dengan perairan Pulau Natuna milik NKRI.

Sikap politik Indonesia yang menginginkan Laut China Selatan yang damai dan stabil itu telah disuarakan Presiden Joko Widodo dalam KTT AS-ASEAN di Sunnylands tahun lalu dan sikap tersebut tampaknya tak akan pernah berubah saat ASEAN memasuki usia barunya.

Tanpa menafikan kemungkinan bahwa pendekatan realistis diambil masing-masing negara anggotanya dalam menghadapi China dengan memprioritaskan kepentingan nasionalnya, namun mempromosikan dan menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan sudah sepatutnya menjadi sikap kolektif ASEAN mengingat hal itu merupakan bagian dari tujuan didirikannya organisasi regional ini 50 tahun silam.

Oleh Rahmad Nasution
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017