Tanjungpinang (ANTARA News) - Tokoh Islam Kepri menyerukan pemerintah menertibkan sekitar 190 jemaah Ahmadiyah yang masih eksis di daerah tersebut karena dianggap melawan ajaran agama Islam. "Ajaran Ahmadiyah tidak hanya sesat, tapi juga melawan ajaran Islam," kata tokoh Islam, Hajarullah Aswad di Tanjungpinang, ibukota Provinsi Kepri, Rabu. Hazarullah yang juga dosen mata kuliah agama Islam di Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) mengungkapkan, ajaran Ahmadiyah meyakini adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW, dan juga memiliki kitab suci selain al-quran dan hadits sebagai pedoman hidup. "Kasihan para pengikut Ahmadiyah yang kebanyakan tidak tahu banyak soal Islam. Mereka harus segera disadarkan," ujar Hazarullah yang juga menjabat sebagai Sekretaris BAZ Kepri. Ajaran Ahmadiyah berkembang di pelosok pedesaan, sebab masyarakat di tempat itu mudah dipengaruhi. "Masyarakat desa lebih mudah dipengaruhi karena tingkat pengetahuan agama dan ilmu lainnya masih minim. Mereka juga memiliki kesulitan ekonomi," katanya. Ia mendukung keputusan Bakor Pakem yang menyatakan ajaran Ahmadiyah sesat dan dilarang. Namun ia menyayangkan sikap pemerintah yang dinilai lambat dalam menertibkan aktivitas jemaah Ahmadiyah yang sudah berkembang di Kabupaten Bintan dan Batam. "Harusnya ditertibkan segera sebelum warga merasa resah dengan kehadiran mereka," katanya. Ia mengimbau kepada masyarakat Islam di Kepri untuk tidak melakukan tindakan anarkis atau main hakim sendiri terhadap jemaah Ahmadiyah. "Serahkan semuanya kepada pemerintah dan aparat terkait," katanya. Ketua MUI Kecamatan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, Provinsi kepri, Manimpo Simamora mengungkapkan, permasalahan jemaah Ahmadiyah sangat sensitif, karena itu pihaknya belum bisa bertindak ataupun berkomentar sebelum pemerintah pusat memutuskannya. "Kami tunggu keputusan pemerintah," kata Simamora yang juga Ketua Komisi III DPRD Kabupaten Bintan. Hal yang sama dikatakan anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRD Bintan. Meski menilai ajaran Ahmadiyah sesat, namun mereka belum mau berkomentar.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008