Kota Gaza, (ANTARA News)- Hisham Rezeq, seorang pengusaha berusia 32 tahun di Jalur Gaza, membeli mobil baru delapan bulan lalu, tapi kini dia harus mengendarai sepeda untuk pergi ke kantor. "Bagi kami tak ada cara lain. (Naik sepeda) sekarang adalah satu-satunya pilihan saya untuk bepergian," kata Rezeq --yang perusahaannya berjarak empat kilometer dari rumah. Di Jalur Gaza, bisnis sepeda mengalami "booming" menyusul penghentian pasokan bahan bakar oleh Israel. "Krisis bahan bakar tentu saja memiliki pengaruh besar, dan orang makin banyak beralih ke sepeda," kata Mohammed As-Soussi, pemilik suatu toko sepeda, sebagaimana diberitakan kantor berita Xinhua. "Saya berjuang untuk memiliki sepeda baru," kata As-Soussi, yang mengeluh bahwa ia tak dapat memperoleh satu roda sepeda akibat pembatasan oleh Israel. Israel menutup semua pos penyeberangan Jalur Gaza sejak Gerakan Perlawanan Islam (HAMAS) mengalahkan pasukan keamanan yang setia kepada Presiden Palestina, Mahmoud Abbas,dan menguasai daerah itu Juni sejak tahun lalu. Baru-baru ini, Israel mengurangi pasokan bahan bakar ke Jalur Gaza, setelah beberapa pria Palestina bersenjata menyerang satu depot bahan bakar di perbatasan Israel-Jalur Gaza dan menewaskan dua orang Israel. Lebih dari 90 persen mobil di Jalur Gaza harus berhenti beroperasi akibat tindakan Israel tersebut. Kekurangan alat angkutan telah menyulitkan pasien untuk mendapatkan pengobatan, pelajar untuk pergi ke sekolah, dan pegawai untuk pergi ke tempat kerja. Kekurangan bahan bakar juga membuat ambulan tak beroperasi dan memaksa universitas untuk membekukan perkuliahan. Kehidupan di Kota Gaza lumpuh total, jalan-jalan lengang, hanya ada segelintir pejalan kaki atau satu taksi yang pengemudinya berhasil memperoleh beberapa liter bahan bakar dari pasar gelap dengan harga selangit. "Hari-hari ini mengingatkan saya kepada intifada pertama ketika orang Israel melarang orang keluar rumah," kata Abu Hassan Ja`el, seorang pelayan di satu kafetaria. "Namun, (dulu) larangan orang keluar rumah hanya berlangsung beberapa jam, tidak seperti sekarang ...," kata Ja`el kemudian tersenyum pahit. Dalam kemiskinan, kehilangan dan keputus-asaan, warga Jalur Gaza harus menempuh resiko kehilangan nyawa untuk mencari nafkah, dan sulitnya keadaan memaksa mereka menemukan gagasan. Pengemudi taksi awalnya biasa menggunakan gas untuk memasak sebagai bahan bakar alternatif, namun setelah semua jenis energi dilarang masuk ke Jalur Gaza, mereka menggunakan minyak goreng --yang dapat membuat mesin jadi mogok dan menimbulkan gangguan kesehatan serta lingkungan hidup. "Tak mempunyai pilihan lain," kata Sa`eed Abu Al-Ouf, yang dulu biasa bekerja sebagai tukang ledeng di Israel dan menghasilkan ribuan dolar AS setiap bulan. "Saya mempunyai anak dan mereka harus diberi makan." "Banyak orang datang untuk membeli minyak jelantah," kata Ehab Akila, seorang pemilik restoran. "Harga minyak jelantah telah melambung jadi 10 shekel (hampir 3 dolar AS) per liter." Israel, yang menghadapi tekanan masyarakat internasional karena menghentikan pasokan bahan bakar ke Jalur Gaza, memutuskan untuk memompa 260 ribu galon minyak solar ke wilayah yang dikuasai HAMAS tersebut. Jumlah itu cukup untuk menjalankan pembangkit listrik selama tiga hari. Kaanan Obeid, pejabat energi Palestina, telah memperingatkan bahwa instalasi pembangkit listrik itu menghadapi ancaman tutup jika bahan bakar tak dikirim. Pembangkit tersebut memasok sepertiga kebutuhan listrik dan sisanya dipasok dari Israel.Namun, sambungan listrik dari Israel berjalan tidak teratur sejak pejuang Palestina menyerang depot bahan bakar Israel dua pekan sebelumnya.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008