Jakarta (ANTARA News) - Departemen Keuangan telah melakukan kajian kenaikan harga BBM bersubsidi sekitar 28,7 persen pada Juni 2008, menyusul kenaikan harga minyak dunia yang hampir menembus 120 dolar AS per barel dan mulai menurunnya kepercayaan terhadap APBN P 2008 dalam menghadapi tekanan harga minyak, demikian sumber ANTARA di Jakarta, Selasa malam. Dikatakannya, harga BBM jenis premium akan naik dari Rp4.500 menjadi Rp6.000 per liter, solar naik dari Rp4.300 menjadi Rp5.500 per liter, dan minyak tanah naik dari Rp2.000 menjadi Rp2.300 per liter. Kenaikan sebesar itu, katanya, akan memberi ruang fiskal yang cukup longgar bagi APBN sebesar Rp21,491 triliun serta menambah penghematan anggaran menjadi Rp25,877 triliun. Dia menjelaskan, dari penghematan anggaran akibat kenaikan harga BBM itu, sebagian besar Rp11,5 triliun akan dialokasikan untuk pemberian program Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada 19,1 juta rumah tangga miskin (RTM) untuk periode Juni 2008-Mei 2009 sebesar Rp100.000 per masing-masing RTM. Selain itu, ruang fiskal tersebut juga akan digunakan untuk penambahan cadangan risiko Rp3 triliun dari yang sudah dicadangkan pada APBN P sebesar Rp8,254 triliun, pengurangan defisit Rp8,377 triliun atau 0,2 persen sehingga defisit anggaran tinggal 1,9 persen, dan tambahan subsidi beras untuk masyarakat miskin (raskin) sebesar Rp3 triliun. "Dengan demikian, inflasi bisa ditekan pada 11,1 persen dan pertumbuhan ekonomi dijaga pada 6,4 persen, dengan rasio penduduk miskin menjadi 14,2 persen," katanya. Rasio penduduk miskin 14,2 persen jauh lebih baik daripada kemungkinan 19,5 persen, jika pemerintah tidak melakukan apa-apa, papar sumber tersebut. Dalam perhitungannya, Depkeu menggunakan asumsi nilai tukar Rp9.000 per dolar AS, SBI 3 bulan 8,5 persen, harga minyak Indonesia 110 dolar AS per barel, lifting minyak 927.000 barel per hari, dan konsumsi BBM 35,9 juta kiloliter. Dengan kenaikan tersebut, katanya, maka pendapatan negara dan hibah pada 2008 akan menjadi Rp936,3 triliun, sedangkan belanja negara sebesar Rp1.022,6 triliun, sehingga terjadi defisit Rp86,3 triliun atau 1,9 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto). Depkeu, jelasnya, juga telah memperhitungkan dua opsi kebijakan lainnya, yaitu penerapan "smart card" dan subsidi terbatas. Berdasarkan perhitungan ini, opsi kenaikan BBM lah yang paling "feasible" dari sisi administrasi serta dampak ekonomi dan sosial. Belum diputuskan Sementara itu, Meneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta mengatakan hingga saat ini pemerintah belum memutuskan untuk menaikkan harga BBM. "Belum lah," katanya saat ditanya tentang hal itu. Sedangkan Direktur Perencanaan Makro Kementerian Negara PPN/Bappenas Bambang Prijambodo mengatakan, jika kenaikan harga BBM bersubsidi merupakan alternatif yang dipilih pemerintah, maka seluruh instansi harus mendukung keputusan tersebut Paskah juga menyebutkan, waktu kenaikan harga BBM bersubsidi sebaiknya dilakukan sebelum datangnya bulan-bulan yang penuh dengan tekanan inflasi, seperti pada Agustus dan September, saat terjadi pendaftaran murid sekolah, dan bulan Oktober hingga Desember saat memasuki bulan puasa, hari raya lebaran dan natal Sementara Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR, Harry Azhar Aziz menganggap, jika kenaikan harga BBM bersubsidi dimaksudkan untuk menghemat anggaran, maka penghematan itu harus dialokasikan sebesar-besarnya untuk mengurangi angka kemiskinan. "Tidak sekedar membuat kebijakan yang menahan laju kemiskinan, tetapi harus mengurangi angka kemiskinan," kata anggota Fraksi Partai Golkar itu. Dia juga mengusulkan, agar harga pembelian pemerintah (HPP) untuk produk gabah kering bisa terus dinaikkan, bahkan menjadi Rp5.000 per kg, dari yang saat ini hanya Rp2.200 per kg. Demi kesinambungan ekonomi nasional Sedangkan ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Aviliani mengungkapkan, meski kebijakan kenaikan harga BBM tidak populis bagi masyarakat, tetapi mempunyai efek positif bagi kesinambungan perekonomian nasional. Aviliani menjelaskan pemerintah akan sangat terbebani oleh subsidi bila tidak menaikkan harga BBM, dan berimbas pada sektor pembangunan lainnya. "Bakal tidak ada kegiatan ekonomi pada kegiatan infrastruktur. Program pengentasan kemiskinan tidak bisa dilakukan karena tidak ada anggaran yang cukup untuk itu," jelasnya bila pemerintah tidak menaikkan harga BBM. Selain itu, investor yang telah membeli dan yang tertarik akan membeli SUN dan ORI, bisa tidak percaya kepada pemerintah akan mampu membayar bila jatuh tempo pembayaran SUN dan ORI. "Kalau investor (yang membeli SUN dan ORI) lepas, maka kita bisa krisis likuiditas," kata Aviliani. Komisaris Bank BRI itu memaklumi kemungkinan adanya penolakan dari masyarakat terhadap kenaikan harga BBM nantinya, akan tetapi itu tetap dilakukan agar masyarakat timbul "sense of crisis" dari masalah harga minyak dunia ini. Sependapat dengan Aviliani, Pengamat Perminyakan Kurtubi juga menyepakati bila harga BBM bersubsidi dinaikkan untuk mengurangi subsidi BBM karena program pemerintah untuk penghematan BBM dengan Smart Card menurutnya kurang efektif mencapai tujuan. Bila harga BBM tidak dinaikkan pemerintah akan menanggung biaya subsidi BBM yang jumlahnya luar biasa besar karena dia memprediksi harga minyak dunia akan terus naik. "Ke depan harga akan terus naik bahkan tidak mustahil pada akhir tahun bisa menembus 150 dolar AS per barel," kata Kurtubi. Kurtubi menyarankan agar pemerintah menerapkan kebijakan energi yang benar, seperti yang dilakukan oleh negara-negara lain di dunia yaitu diversifikasi energi dari minyak ke penggunaan bahan bakar gas (BBG). Kurtubi mengatakan produksi "lifting" minyak sebesar 927 ribu barel per hari sesuai asumsi APBN Perubahan 2008 tidak mencukupi untuk memenuhi dampak harga minyak dunia terhadap perekonomian nasional. Produksi "lifting" minyak dalam negeri terus menurun dari 1,6 juta per barel pada tahun 2000. (*)

Copyright © ANTARA 2008