Jakarta (ANTARA News) - Indonesia harus mewaspadai "serangan" produk China dan India di tengah perlambatan ekonomi Amerika Serikat (AS), yang merupakan pasar ekspor terbesar kedua negara tersebut. Menristek Kusmayanto Kadiman, di Bekasi, Selasa, mengatakan ada tiga kondisi global dan satu kondisi nasional yang harus diwaspadai akan berdampak pada situasi ekonomi Indonesia, salah satunya menurunnya daya beli AS. Padahal China dan India sebagai pemasok terbesar barang-barang ke AS, telah memproduksi berbagai barang dan siap kirim. Namun karena menurunnya daya beli di AS, maka barang-barang tersebut tertahan, dan harus dicarikan pasarnya sesegera mungkin. "Maka kemungkinan besar (pasarnya) adalah Indonesia," katanya. Produk China dan India itu, lanjut dia, bisa masuk dengan berbagai praktek, termasuk dumping atau bahkan berkedok kredit ekspor dan pinjaman murah. "Yang penting produk mereka bisa keluar, karena pasar dalam negeri sudah tidak menyerap," ujar Kusmayanto. Selain itu, lanjut dia, terkait melemahnya ekonomi AS, Indonesia juga perlu mewaspadai gejolak nilai tukar rupiah. Ia mengatakan bila ekonomi Amerika Serikat benar-benar masuk ke dalam resesi dan nilai tukar dolar AS anjlok, maka nilai tukar rupiah pun terpengaruh "Rupiah kita sangat berafiliasi pada dolar AS, sehingga suka atau tidak bila dolar anjlok , rupiah akan ketarik," ujarnya. Tantangan kedua ekonomi Indonesia adalah harga minyak mentah dunia yang beranjak naik. Padahal, kata dia, mengutip pernyataan Menkeu Sri Mulyani, setiap kenaikan harga minyak mentah satu dolar AS, maka akan menyebabkan penambahan subsidi sekitar Rp2 triliun, sehingga bila harga minyak mentah mencapai 140 dolar per barel, dikhawatirkan APBN-P akan kolaps. Faktor eksternal ketiga yang akan mempengaruhi ekonomi Indonesia adalah krisis pangan dunia. "Kalau di tempat lain (produksi pangan) cenderung turun, maka di Indonesia masih naik. 'Dua jempol' bagi pertanian baik pemangku kebijakan maupun mereka yang di lapangan," katanya. Ia mengatakan, Deptan melaporkan produksi beras masih mengalami pertumbuhan sekitar 4,7 persen. Namun harus diakuinya ada anomali dari laporan kenaikan produksi tersebut tersebut. "Harusnya ketika produksi naik, harga akan turun. Tapi kenyataannya harga beras justru naik. Jadi ada yang tidak betul, ada yang tidak beres dengan kita," katanya. Selain itu, satu faktor yang akan mempengaruhi ekonomi Indonesia tahun ini adalah memanasnya suhu politik menjelang Pemilu 2009. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008