Jakarta (ANTARA News) - "Anak saya yang bernama Indah masih trauma pasca pembakaran masjid dan perusakan madrasah pada Senin dini hari. Bahkan, anak saya tidak mau makan dan sejak tadi pagi menangis terus-menerus," tutur salah seorang warga Ahmadiyah, Eman Sulaiman (62) yang mengisahkan kondisi anaknya yang baru berumur 8 tahun itu. Tekanan mental dan traumatis yang dialami si kecil Indah itu terkait dengan kesaksiannya atas kejadian perusakan dan pembakaran masjid dan madrasah Al Furqon milik jemaat Ahmadiyah di Desa Parakan Salak Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada Senin dini hari (28/4) oleh ratusan massa. Indah yang masih polos itu harus melihat dengan mata kepala sendiri keberingasan massa, di tengah tidurnya yang lelap tengah malam itu. Namun, Indah tidak sendiri menderita tekanan mental itu. Banyak para Ahmadi (sebutan pengikut Ahmadiyah) dari berbagai usia juga mengalaminya, bahkan banyak keluarga harus kehilangan harta miliknya. Selain peristiwa di Sukabumi itu, beberapa kasus aksi kekerasan terhadap para Ahmadi ini di antaranya di Cianjur, Jawa Barat (Maret 1984), Garut, Jawa Barat (1988), Kerinci, Jambi (1989), dan Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (2002), di Kabupaten Kuningan (Juli 2005), dan di Kabupaten Cianjur lagi (September 2005) dan kasus Parung, Bogor pada 9 dan 15 Juli 2005 di kampus Mubarok yang sekaligus menjadi kantor Jemaat Ahmadiyah Islam (JAI). Ahmadiyah menjadi sasaran kecaman dan amuk karena dianggap mengajarkan teologi menyimpang dari ajaran pokok atau akidah Islam "mainstream". Ahmadiyah yang didirikan Mirza Ghulam Ahmad dari anak benua India itu, disebutkan memiliki pokok penyimpangan pada status kenabian yang dilekatkan sang pendirinya. "Kenabian Muhammad SAW sebagai nabi terakhir dan penutup para nabi adalah ajaran pokok Islam. Apabila ada ajaran bahwa ada nabi sesudah Nabi Muhammad, itu menyimpang," kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma`ruf Amin. Namun sayangnya, perihal Ahmadiyah ini disorot secara umum. Padahal sesungguhnya dalam Ahmadiyah terdapat dua aliran besar, yang berguna bagi pendekatan Muslim "mainstream" untuk meluruskan ajarannya. Mengacu hasil penelitian Rudy Harisyah Alam dari Balai Litbang Departemen Agama, yang disampaikan 22 Desember 2005, ada sejumlah perbedaan mendasar menyangkut ajaran Ahmadiyah yang dipahami aliran Qadian -- di Indonesia diwakili Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) -- dan aliran Lahore diwakili Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). Pemahaman Muhammad SAW sebagai "khatam al-nabiyyin", di kalangan Qadian, diartikan ia adalah nabi terbesar, namun bukan nabi terakhir penutup para nabi. Nabi tanpa syariat dapat muncul sesudah Nabi Muhammad, dan itu merujuk Mirza Ghulam Ahmad yang merupakan seorang nabi, sekaligus al Masih yang dijanjikan serta al Mahdi bagi umat Islam. Aliran Qadian juga menyatakan setelah Nabi Muhammad, wahyu nubuwah (kenabian) terus berlanjut. Wahyu yang diterima Mirza Ghulam Ahmad adalah wahyu nubuwah. Dengan demikian, keyakinan terhadap misi kenabian Mirza Ghulam Ahmad menjadi prasyarat untuk menjadi Muslim. Siapa pun yang tidak mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, ia adalah kafir. Soal penafsiran terhadap nama "Ahmad" yang muncul di dalam al-Quran surah al-Shaff (61:6), yang berisi ramalan Isa ibn Maryam tentang akan datangnya seorang utusan sesudahnya yang bernama "Ahmad", paham Qadian menyatakan ramalan Nabi Isa itu bukan mengacu pada Nabi Muhammad, tetapi kepada Mirza Ghulam Ahmad. Kemudian bagi Ahmadi Qadian, tidak diperbolehkan salat di belakang imam seorang yang tidak mengakui klaim Mirza Ghulam Ahmad, serta dilarang mengadakan hubungan perkawinan dengan orang non Ahmadi. Berbeda dengan aliran Qadian yang menjadi mayoritas di kalangan Ahmadi, paham aliran Lahore memiliki ajaran lebih dekat dan terbuka terhadap paham kaum Muslim pada umumnya. Pandangan ajaran pokok Lahore menegaskan Muhammad SAW adalah "khataman al nabiyyin", yang berarti ia adalah nabi terbesar, sekaligus nabi terakhir penutup para nabi. Tidak ada nabi, baik lama maupun baru, yang akan muncul sesudah Nabi Muhammad. Soal penafsiran terhadap nama "Ahmad" yang muncul di dalam al-Quran surah al-Shaff (61:6), yang berisi ramalan Isa ibn Maryam tentang akan datangnya seorang utusan sesudahnya yang bernama Ahmad, kelompok Lahore berpendapat bahwa Ahmad yang dimaksud adalah Nabi Muhammad, karena dua nama itu merujuk ke orang sama. Pendapat ini sama dengan mayoritas Muslim. Paham Lahore juga menyatakan siapa pun yang menyatakan keimanan dengan kalimat syahadat adalah seorang Muslim, bukan kafir. Keyakinan terhadap kedatangan Mirza Ghulam Ahmad sebagai mujadid bukan prasyarat menjadi Muslim, tetapi penerimaan terhadap dirinya demi kepentingan cara memajukan Islam. Bagi Ahmadi Lahore, diperbolehkan untuk melaksanakan salat di belakang imam seorang Muslim manapun sepanjang ia tidak mengkafirkan Muslim lainnya. Juga memiliki hubungan perkawinan dengan orang non Ahmadi diperbolehkan. Paham Lahore yang tetap mencirikan sebagai ajaran Ahmadiyah adalah tetap berpegang pada ajaran Mirza Ghulam Ahmad, walau ia ditegaskan bukan seorang Nabi, melainkan seorang pembaharu (mujjadid), sekaligus al-Masih yang dijanjikan serta al-Mahdi bagi umat Islam. Demikian pula, Ahmadi Lahore yang di Indonesia berpusat di Yogyakarta dengan nama organisasi Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) ini mengakui setelah Nabi Muhammad, wahyu nubuwah telah berhenti. Tetapi wahyu wilayah (kepemimpinan) terus berlanjut. Wahyu yang diterima Mirza Ghulam Ahmad adalah wahyu wilayah, bukan wahyu nubuwah. Sementara itu menyangkut keyakinan kitab suci, kedua aliran itu tetap menyatakan al Qur`an al Karim adalah risalah syariah terakhir bagi dunia. "Tadzkirah" yang sering disebut penentangnya sebagai kitab suci, hanyalah kumpulan karya Mirza Ghulam yang mereka gunakan sebagai pegangan biasa Ahmadi, dan bukan kitab suci kedua. Bukan Kekerasan Sejak awal kehadirannya di Indonesia, Ahmadiyah sudah mendapat tentangan dari kalangan Muslim yang di Indonesia mayoritas Sunni. Namun, betapapun sengitnya reaksi terhadap Ahmadiyah pada waktu itu, ketidaksetujuan itu tidak diwujudkan dalam tindak kekerasan, tetapi dalam bentuk perdebatan dan diskusi. Rudy Harisyah Alam mengemukakan contoh, pada tahun 1926 di Padang, tokoh Muhammadiyah Abdullah Ahmad dan Haji Abdul Karim, mengkritik pandangan Ahmadiyah bahwa Nabi Isa telah wafat dan tak mungkin turun ke dunia lagi. Kemudian Haji Abdul Karim Amrulah secara khusus menyusun buku berjudul "al-Qawl al-Shahih", yang membahas soal pengertian nabi, rasul, wahyu, dan Nabi Muhammad adalah rasul penghabisan. Pada tahun 1925, di Tapaktuan (Aceh), Muhammad Isa dan Ahmad Syukur, murid Abdul Karim Amrullah, menyanggah paham Ahmadiyah melalui pengajian-pengajian. Sedangkan pada tahun 1933 di Bandung (Jawa Barat), Ahmad Hassan dari Persatuan Islam banyak melakukan debat terbuka untuk mengkritik paham Ahmadiyah. Tindak kekerasan sebagai ekspresi ketidaksetujuan terhadap ajaran keislaman versi Ahmadiyah, khususnya aliran Qadian, memang baru bermunculan pada era 1980-an, setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang paham Ahmadiyah Qadian "di luar Islam, sesat, dan menyesatkan" melalui Musyawarah Nasional ke-2 yang ber langsung di Jakarta, 26 Mei - 1 Juni 1980. Padahal seharusnya Muslim kini mencontoh reaksi Muslim terdahulu, yang mengedepankan dialog dengan kalangan Ahmadi sebagai upaya meluruskan ajarannya. "Dialog persuasif itu merupakan cara terbaik agar pengikut Ahmadiya kembali ke jalan yang benar. Di lapangan, tidak mudah membubarkan sebuah keyakinan. Tidak bisa seperti membalik telapak tangan. Boleh ada pembubaran secara legal formal, tetapi secara kultural keyakinan itu boleh jadi tetap hidup," kata Ketua Umum PP Muhammadiyah, M Din Syamsuddin. Din tak lupa mengingatkan, ormas dan lembaga Islam lebih baik meningkatkan dakwah mereka untuk meyakinkan masyarakat yang mengaku Islam tetapi mempraktikkan akidah menyimpang untuk kembali ke jalan yg benar. Karena diakuinya bahwa maraknya ajararan-ajaran menyimpang terjadi karena dakwah Islamiyah belum merata dan mendalam. Selain itu yang harus diwaspadai, mengutip pernyataan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, H Amien Rais, jangan pernah ada kekerasan atas nama Islam terhadap Ahmadiyah. "Orang-orang Ahmadiyah juga anak bangsa, anak cucu adam, bisa sakit bisa senang, jadi jangan pernah ada kekerasan atas nama Islam. Jika ada yang merusak, menghajar dan menghancurkan gedung Ahmadiyah, maka orang-orang yang merusak itu adalah zalim," kata Amin Rais menegaskan.(*)

Oleh Oleh Zaenal Abidin
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008