Jakarta (ANTARA News) - Keaksaraan saat ini menjadi suatu hal yang sangat penting bagi dunia, terbukti dengan diangkatnya fokus ini dalam laporan UNESCO pada tahun 2006, yaitu "EFA Global Monitoring Report, Literacy for Life". Menurut laporan itu, masalah buta aksara merupakan masalah yang dimiliki oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Masalah buta aksara merupakan masalah yang sudah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Kebutaaksaraan sangat terkait dengan kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan serta ketidakberdayaan suatu masyarakat. Ini sangat berkaitan dengan sejarah suatu bangsa. Umumnya negara-negara miskin dan korban jajahan oleh negara-negara lain memiliki penduduk dengan tingkat buta aksara yang tinggi. Namun buta aksara tidak hanya ada di negara-negara berkembang dan berpenduduk besar. Di negara-negara yang saat ini tergolong maju pun, masyarakatnya banyak yang tergolong buta aksara. Bedanya, saat ini mereka sudah terbebas, sementara negara-negara bekas jajahan mereka masih menjadi penyandang buta aksara yang besar. Di negara-negara Eropa sebelum terjadi revolusi industri pertengahan abad kesembilan belas, yang antara lain dapat menghasilkan kertas murah, tingkat buta aksara di seluruh negara masih sangat tinggi. Di Inggris, misalnya, pada tahun 1841 sebanyak 33 persen kaum laki-laki dan 44 persen kaum perempuan dari seluruh penduduk Inggris tidak memiliki kemampuan menulis. Demikian juga di Amerika Serikat yang tingkat buta aksaranya dipengaruhi dua masalah utama yaitu tingkat kelahiran dan komposisi etnis. Pertumbuhan penduduk selama periode tahun 1790-1860 yang sangat tinggi telah menimbulkan masalah buta aksara yang cukup kompleks. Demikian juga selama abad kesembilan belas, walaupun tingkat kelahiran menurun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, namun banyaknya imigran yang datang dari luar Amerika telah menimbulkan tingginya masalah buta aksara di negara itu. Walaupun pada awal abad ke duapuluh masalah ini sempat menurun, namun setelah Perang Dunia II berakhir, masalah buta aksara muncul kembali. Di negara-negara maju, definisi buta aksara tidak sama persis dengan di negara-negara berkembang atau miskin. Di Indonesia, misalnya, buta aksara masih didefinisikan secara tradisional sebagai ketidakmampuan seseorang untuk membaca, menulis dan menghitung dalam bahasa Indonesia. Di AS, dua lembaga yang diakui pemerintah memberikan peran dalam pengentasan buta aksara yaitu National Council of Teachers of English dan The International Reading Association menambahkan pengertian visually representing ke dalam definisi tradisional. Di Skotlandia, melek aksara didefinisikan sebagai "the ability to read and write and use numeracy, to handle information, to express ideas and opinions, to make decisions and solve problems, as family members, workers, citizens and lifelong learners". Untuk memberi gambaran terhadap masalah buta aksara di dunia, pada tahun 1990 tiga orang ahli dengan berbagai spesialisasi yaitu Amartya Sen, Mahbub ul Haq serta Gustav Ranis mengembangkan suatu ukuran komparatif. Ukuran ini mengadopsi tiga hal utama yang diyakini paling mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia, yaitu umur harapan hidup (life expectancy), tingat melek aksara (literacy), kombinasi tingkat siswa yang mendaftar di sekolah dasar, menengah dan tinggi (gross enrollment ratio), serta tingkat kesejahteraan (Produk Domestik Bruto). Ukuran itu dinamakan Human Development Index (HDI). Pada tahun 2006, ada 63 negara yang masuk ke dalam kelompok negara-negara dengan nilai HDI tinggi. Diantaranya negara-negara Eropa Barat, sebagian Eropa Timur, Amerika Utara, Amerika Selatan dan Jepang. Kelompok dengan nilai HDI menengah diisi oleh 83 negara Arab, Afrika, Amerika Selatan, Asia termasuk Indonesia. Sementara kelompok dengan nilai HDI rendah seluruhnya diisi oleh 31 negara Afrika. Buta Aksara di Indonesia Ada lima penyebab tingginya tingkat buta aksara di Indonesia. Kelima penyebab tersebut adalah, tingginya angka putus Sekolah Dasar (SD), beratnya kondisi geografis Indonesia, munculnya penyandang buta aksara baru, pengaruh faktor sosiologis masyarakat, serta kembalinya seseorang menjadi penderita buta aksara. Upaya pemberantasan buta aksara saat ini dilakukan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Pemberantasan buta aksara merupakan pekerjaan yang tidak mudah, namun juga tidak mustahil dilakukan. Pengalaman pemerintah Indonesia sejak tahun 1970-an menunjukkan tingkat pemberantasan buta aksara tidak terlalu stabil, namun dari tahun ke tahun menunjukkan perkembangan yang semakin baik. Selama periode tahun 1971-1980, selama 9 tahun, tingkat pemberantasan buta aksara hanya 0,17 persen per tahun. Selama 10 tahun berikutnya naik menjadi 1,76 persen per tahun. Tingkat pemberantasan buta aksara naik selama periode tahun 1990-1993 dan 1993-2000 masing-masing sebesar 4,57 dan 6,29 persen per tahun. Sementara itu pada tahun 2006 tingkat pemberantasan buta aksara ini meningkat tajam menjadi 13,5 persen, sehingga penderita buta aksara pada tahun 2006 hanya tinggal 12,88 juta orang, turun dari tahun sebelumnya sebesar 14,89 juta orang. Dengan target penurunan angka buta aksara menjadi 7,7 juta orang pada akhir tahun 2009 berarti tingkat pemberantasan buta aksara selama periode tahun 2007-2009 harus mencapai 13,4 persen per tahun. Suatu angka yang tidak kecil dan menuntut kerja keras semua pihak, baik pihak pemerintah maupun pihak non pemerintah. Untuk dapat mencapai target penurunan jumlah buta aksara sebesar itu, pemerintah sudah membuat beberapa strategi pemberantasan buta aksara yang diharapkan efektif serta efisien. Beberapa strategi tersebut, pertama memprioritaskan pemberantasan buta aksara di provinsi dan kabupaten/kota yang buta aksaranya tinggi. Lima provinsi dengan jumlah penyandang buta aksara terbesar adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Dengan jumlah penderita yang mencakup sekitar 70 persen dari seluruh penduduk buta aksara, maka pemberantasan buta aksara di kelima provinsi ini sangat menentukan keberhasilan pemberantasan buta aksara di seluruh Indonesia. Kedua, menerapkan sistem blok, yakni pemberantasan buta aksara dimulai dari daerah yang angka buta aksaranya paling tinggi selanjutnya bergeser ke daerah yang angka buta aksaranya lebih rendah. Demikian seterusnya, hingga daerah yang angka buta aksaranya paling rendah. Ketiga, menerapkan pendekatan vertikal melalui penggunaan struktur pemerintahan untuk memobilisasi semua segmen masyarakat agar terlibat aktif dalam pemberantasan buta aksara. Keempat, menerapkan pendekatan horisontal melalui kerjasama dengan berbagai organisasi non pemerintah, seperti organisasi sosial, keagamaan, perempuan, pemuda, pondok pesantren, dewan masjid, gereja, lembaga kemasyarakatan Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) serta organisasi lainnya. Kelima, melakukan kerja sama dengan berbagai perguruan tinggi, antara lain dengan melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan program tematik pemberantasan buta aksara. Pemerintah sudah melibatkan 52 lembaga perguruan tinggi baik negeri maupun swasta dalam program percepatan pemberantasan buta aksara dengan bermacam-macam pengembangan sistem pembelajaran dan pengembangan bahan ajar yang melibatkan para mahasiswa melalui kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN), Praktek Kerja Lapangan (PKL) atau Program Pengalaman Lapangan (PPL). Keenam, melakukan integrasi program pemberantasan buta aksara dengan pemberantasan kemiskinan, antara lain program untuk komunitas adat terpencil, masyarakat kawasan transmigrasi dan lain-lain. Ketujuh, melaksanakan sertifikasi pendidikan keaksaraan yang bersumber pada standar kompetensi keaksaraan (SKK) serta pedoman penilaian hasil belajar (PPHB) pendidikan keaksaraan untuk menjamin kualitas penyelenggaraan program pemberantasan buta aksara. Untuk mendukung kegiatan ini, pemerintah pusat mengalokasikan dana melalui APBN, ditunjang alokasi dana pemerintah daerah tingkat I dan II masing-masing melalui APBD Tingkat I dan APBD Tingkat II. Besarnya dana anggaran tergantung dari besarnya sasaran penderita buta aksara di masing-masing daerah, serta total dana yang dimiliki oleh setiap daerah. Buta aksara telah menyebabkan berbagai masalah dalam kehidupan masyarakat. Seperti yang pernah disampaikan oleh Hj. Khofifah Indar Parawansa, Ketua Umum PP Muslimat Nahdlatul Ulama, banyak terjadi kasus suami kawin lagi karena para istri tidak bisa membaca ketika disodori surat oleh suami-suami mereka. Dan ternyata surat itu merupakan surat persetujuan untuk kawin lagi. Rumah pintar Pemberantasan buta aksara sampai saat ini terus gencar dilakukan, tidak saja di negara-negara yang belum dan sedang berkembang, tetapi juga di negara-negara maju dan kaya. Di Kuba, sebuah negara komunis tingkat melek aksaranya sangat tinggi. Menurut data UNDP, untuk tahun 2004 saja tingkat melek aksara penduduk berusia 15 tahun ke atas mencapai 99,8 persen, sehingga negara ini menempati urutan HDI ke-50 dengan nilai 0,826. Sukses Kuba memberantas buta aksara tidak terlepas dari peran sentral pemimpinnya Fidel Castro yang langsung melakukan gerakan pemberantasan buta aksara kurang dari satu tahun setelah menyatakan kemerdekaan negaranya pada tahun 1959. Castro merekrut 120.000 guru yang bekerja secara sukarela. Sebagian besar diantaranya merupakan pelajar SMA muda. Para guru disebar ke seluruh negeri untuk mengajar penduduk membaca, menulis dan berhitung. Dengan strategi utama Yo, si puedo (I can do it), program ini diakui sangat berhasil baik oleh negara-negara lain maupun oleh lembaga-lembaga dunia yang menangani masalah buta aksara, sehingga menjadi gagasan di banyak negara Amerika Latin, Asia dan Afrika dalam bidang pemberantasan buta aksara. Tidak hanya di negara-negara berkembang dan miskin saja, di negara-negara kaya pun pemberantasan buta aksara terus dilakukan. Di Amerika Serikat, negara paling kaya di dunia pun, pemberantasan buta aksara terus dilakukan. Banyak lembaga non pemerintah yang berkerja secara sukarela dengan dana didapat tidak dari pemerintah. Walaupun ruang lingkup masyarakat yang ditangani tidak sama dengan masyarakat di negara-negara miskin, namun tujuannya tetap sama, yaitu menghilangkan angka buta aksara di dalam masyarakat negara mereka. Pemberantasan buta aksara di Indonesia saat ini memasuki babak baru. Seperti yang dikatakan oleh Ibu Negara RI Ani Bambang Yudhoyono, ia memimpikan pada suatu hari nanti semua rumah di Indonesia akan menjadi rumah pintar, dan setiap anak Indonesia menjadi pintar. "Indonesia menjadi negara paling makmur di dunia," kata Ibu Ani pada presentasi di Sidang UNESCO bertajuk "UNESCO Regional Conferences In Support of Global Literacy", yang berlangsung di Beijing, China, akhir Juli 2007. Dalam dialog dengan para ibu negara dari sembilan negara, yaitu Amerika Serikat, Australia, Jepang, Korea Selatan, Thailand, dan Brunei Darussalam, Ibu Ani memperkenalkan tiga program yang berasal dari buah pemikirannya sendiri, yaitu Mobil Pintar, Motor Pintar, dan Rumah Pintar. Ketiga program ini sebenarnya telah digagas sejak tahun 2005, bekerjasama dengan Universitas Negeri Jakarta dan Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB). Gagasan dasar ketiga program ini adalah, sangat sulitnya masyarakat menjangkau perpustakaan. Dengan program Mobil dan Motor Pintar, masyarakat akan didatangi. Oleh karena itu, diharapkan program ini dapat meningkatkan minat baca masyarakat dan semakin mempercepat pemberantasan buta aksara. Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Prof DR Arief Rachman, menilai konsep Mobil dan Motor Pintar yang digagas Ibu Negara ini akan mampu meningkatkan pemberantasan buta aksara dengan lebih cepat. "Dengan program Mobil dan Motor pintar ini, saya yakin akan lebih melejit lagi," ujar Arief. Bahkan, menurut Arif, UNESCO mendukung upaya untuk mempatenkan hak cipta ketiga program ini. (*)

Oleh Oleh: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2008