Jakarta (ANTARA News) - Kebijakan bank sentral AS (The Fed) untuk memangkas suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 2,00 persen tidak bisa dijadikan acuan Bank Indonesia (BI) dalam menentukan arah kebijakan moneter mereka karena kebijakan tersebut diambil dalam kondisi yang tidak normal. "Kebijakan `The Fed` itu lebih dimaksudkan untuk menyelamatkan sektor keuangan, dan bukan karena faktor tekanan inflasi," kata Direktur Perencanaan Makro Bappenas Bambang Prijambodo di Jakarta, akhir pekan lalu. Selain itu, kata Bambang, kebijakan tersebut juga dimaksudkan untuk mencegah negara ekonomi terbesar di dunia itu terjerumus ke lubang resesi, meskipun tingkat inflasi di AS telah mencapai 4,1 persen. "Memang, penurunan itu berarti memperlebar jarak dengan suku bunga kita. Namun, saya kira, hal itu tidak mengharuskan suku bunga acuan kita untuk diturunkan," kata Bambang. Dengan demikian, Bambang mengusulkan agar BI tetap mempertahankan tingkat suku bunga acuan (BI Rate) pada 8 persen, untuk mengontrol tekanan inflasi hingga akhir 2008. BI sendiri baru akan mengadakan pertemuan Dewan Gubernur BI untuk menentukan arah kebijakan moneter ke depan pada Selasa mendatang (6/5). Sementara itu, ekonom Standard Chartered Bank Fauzi Ichsan menilai, penurunan suku bunga The Fed akan menjadi peluang positif bagi penguatan nilai tukar rupiah atas dolar sehingga ruang untuk "imported inflation" atau inflasi karena impor komoditas yang mengalami kenaikan harga bisa dibatasi. Fauzi menyarankan, BI sebaiknya menaikkan tingkat suku bunga acuan minimal 50 basis poin untuk menahan laju inflasi, mengingat inflasi year on year April telah mencapai 8,96 persen. "Pasar akan menilai BI berani dalam menaikkan suku bunga, dan itu jadi indikasi positif buat kita," kata dia.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008