Bandarlampung (ANTARA News) - Pemerintah dinilai masih setengah hati dalam membangun sistem pendidikan nasional termasuk untuk meningkatkan kesejahteraan pendidik, guru dan dosen, maupun pemenuhan minimal 20 persen anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD di daerah-daerah. "Semua itu membuktikan bahwa pemerintah masih setengah hati dalam membangun sistem pendidikan nasional, khususnya kesejahteraan guru dan dosen," kata Ahmad Faisal Anshori, pegiat Forum Masyarakat Peduli Pendidikan Indonesia (ForMaPPI) Lampung, di Bandarlampung, Senin. Dia menyebutkan, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang semula diharapkan menjadi landasan dan tonggak penting dalam peningkatan idealisme dan peningkatan mutu, kesejahteraan serta martabat para pendidik, sudah selayaknya diimplementasikan secara nyata dengan harapan profesi pendidik itu menjadi benar-benar mulia dan bermartabat. UUGD tak dilaksanakan dengan berbagai dalih pembenaran Ternyata, keberadaan UUGD itu belum dilaksanakan sebagaimana mestinya dengan berbagai dalih untuk menjadi pembenarnya. Ia menilai, bangsa Indonesia selama ini, terkenal dan dikenal sebagai bangsa yang lunak (soft nation), sehingga akan sulit untuk menegakkan hukum secara tegas dan lugas. Menurut Faisal, ketentuan UUD 1945 pasal 31 ayat (4) itu, ternyata tidak atau belum dipenuhi oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah secara sungguh-sungguh, dengan alasan pencapaian anggaran sekurang-kurangnya 20 persen itu secara bertahap atau berangsur-angsur. Sertifikasi rawan KKN Ia menyebutkan pula, persoalan lanjutan berkaitan pelaksanaan UUGD dengan adanya keharusan sertifikasi yang tidak hanya memberatkan, melainkan juga rawan terjadi KKN dan para guru yang tidak berijazah sarjana (S1), akan mengalami kesulitan dan kemungkinan mereka sudah pensiun sebelum dapat menikmati tunjangan tambahan dari program sertifikasi tersebut. ForMaPPI, lanjut dia, menilai kebijakan yang ditempuh pemerintah melalui pelaksanaan UUGD itu terkesan diskriminatif, karena dituding hanya menguntungkan orang-orang tertentu, sementara para guru yang belum memenuhi kualifikasi sebagai tenaga profesional baik karena pendidikan maupun masa kerja, jumlahnya masih cukup besar. Sertifikat mengajar sama dengan akta mengajar atau apapun namanya "Padahal kebijakan tentang perlunya sertifikat mengajar sesungguhnya sudah pernah diterapkan sebelum adanya UUGD itu, yaitu dengan akta mengajar," kata Faisol Anshori pula. Kenyataan itu dialami pula para dosen, dengan ketentuan wajib sertifikat mengajar namun telah berulangkali berubah namanya. Keprihatinan ForMaPPI itu, antara lain ditunjukkan dengan menggelar Seminar Nasional Pendidikan bertema "Bedah UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dalam Kerangka Peningkatan Kesejahteraan Profesi Pendidik di Indonesia", dilaksanakan di GSG Unila, Minggu (4/5) lalu, yang menghadirkan kalangan birokrat, pemda dan parlemen, pendidik, pengusaha dan pelaku usaha, pelajar, mahasiswa, dan para wartawan dan pemilik media massa.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008