Jakarta (ANTARA News) - Ekonom Tim Indonesia Bangkit (TIB), Hendri Saparini, menilai rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bukan merupakan kebijakan yang adil dan tidak berpihak kepada masyarakat banyak. "Ini kebijakan panik dan tidak adil. Kebijakan ini membebankan dampak persoalan kepada masyarakat," kata Hendri di Jakarta, Rabu. Ia mengatakan, saat ini opini publik seakan-akan sudah terbentuk bahwa tidak ada pilihan lain untuk menyelamatkan ekonomi bangsa selain dengan menaikkan harga BBM. Padahal, ia menilai, pemerintah justru belum menerapkan pilihan-pilihan lain sebelum menaikkan BBM. Menurut dia, pemerintah mestinya belajar dari dampak menaikan harga BBM pada 2005 lalu. "Pada 2005 lalu BBM dinaikkan dan pemerintah mengklaim dengan kenaikan itu kemiskinan akan menurun dan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi," katanya. Namun, katanya, fakta yang justru terjadi pada 2006 jumlah penduduk miskin naik dari 31,1 juta jiwa pada 2005 menjadi 39,3 juta jiwa pada 2006. Demikian pula tingkat inflasi pun mengalami kenaikan tajam menjadi sebesar 17,75 persen pada 2006 pasca kenaikan BBM tersebut. Selain itu, dari sisi industri, kenaikan harga BBM untuk kedua kalinya pada 2005 terbukti telah mendorong proses percepatan deindustrialisasi. Jika pada 2004 sektor manufaktur masih tumbuh 7,2 persen, maka pada 2007 hanya tumbuh sebesar 5,1 persen. "Ini terjadi karena industri ditekan dari dua sisi, yakni peningkatan biaya produksi dan merosotnya permintaan akibat menurunnya daya beli masyarakat," katanya. Jumlah penganggur juga bertambah dari 9,9 persen pada 2004 menjadi 10,3 persen pada 2005, dan 10,4 persen pada 2006. "Dampak kenaikan BBM pada 2005 itu sangat panjang tidak hanya seperti klaim pemerintah yang memprediksikan dampaknya hanya akan terjadi setahun setelah itu membaik, tetapi ternyata pertumbuhan ekonomi lebih rendah dari prediksi," katanya. Hendri menilai, tingginya harga minyak mentah dunia terjadi akibat lemahnya kredibilitas prediksi tim ekonomi pemerintah atas asumsi-asumsi APBN 2008 termasuk prediksi harga minyak. "APBN-P 2008 sangat optimistis tidak memperhitungkan kondisi ekonomi internasional dan tren harga minyak," katanya. Ia mengatakan, kredibilitas prediksi pemerintah yang lemah mengakibatkan ketidakpercayaan pasar. Pilihan pertama Hendri juga berpendapat, kenaikan harga BBM merupakan pilihan pertama pemerintah, tetapi pemerintah sendiri mengklaim sebagai pilihan terakhir. "Faktanya masih banyak langkah-langkah kebijakan penyelamatan ekonomi lain yang belum dilakukan sebelum menaikan harga BBM," katanya. Tim Indonesia Bangkit menawarkan sejumlah masukan kebijakan sebelum memilih kenaikan harga BBM, di antaranya melalui reformasi tata niaga minyak bumi dan gas, revisi formula perhitungan alokasi dana bagi hasil migas, dan memobilisasi dana alternatif. Selain itu, pemerintah juga mestinya melaksanakan program anti kemiskinan yang efektif dan menyusun diversifikasi energi. "Kenaikan harga BBM tanpa persiapan matang dan kebijakan dukungan sangat merugikan kinerja ekonomi nasional," kata Hendri Saparini. (*)

Copyright © ANTARA 2008