Jakarta, 08/05/08 (ANTARA) - Harmonisasi peraturan dan standar penilaian telah menjadi pembahasan yang intensif di setiap negara-negara anggota ASEAN. Komitmen negara-negara ASEAN untuk mengadopsi Standar Penilaian Internasional (International Valuation Standard) telah membuktikan bahwa negara-negara ASEAN menghendaki penerapan praktik-praktik terbaik yang berlaku secara internasional (international best practice) bagi praktik penilaian di negara mereka. Melalui event ini diharapkan agar para penilai khususnya di Indonesia dapat mengatasi belum optimalnya standar penilaian berkenaan dengan "a new promising property market". Selain itu, kerjasama di antara anggota ASEAN dibutuhkan untuk membangun pasar properti yang lebih terintegrasi dan untuk saling mempelajari peraturan terkait antar negara anggota ASEAN dalam rangka pengembangan pasar properti. Demikian disampaikan Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Sahala Lumban Gaol mewakili Menko Perekonomian Boediono pada acara pembukaan kongres ASEAN Valuers Assosiation (AVA) ke 15 di Hotel Padma, Bali, Rabu (07/05/08). Kongres ini terselenggara atas kerjasama Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP) Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan dengan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) dan Gabungan Perusahaan Penilai Indonesia (GAPPI). Peserta yang hadir sekitar 400 orang terdiri dari anggota MAPPI, GAPPI, dan para delegasi asosiasi profesi penilai dari negara-negara ASEAN. Di tempat yang sama Direktur Jenderal Kekayaan Negara Hadiyanto menjawab pertanyaan wartawan mengenai RUU Penilaian, bahwa RUU penilaian itu nantinya akan mengatur antara lain pertama mengenai standar metodologi penilaian, kedua bagaimana memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi profesi penilai, ketiga bagaimana mengembangkan profesi penilai itu sendiri dari waktu ke waktu sehingga akan semakin meningkat, dan yang keempat bagaimana memberikan kepastian hukum bagi para pengguna jasa penilai (stakeholder). Kepala Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP) Indarto juga menjelaskan bahwa pembinaan Jasa Penilai pada awalnya dilakukan oleh Departemen Perdagangan dan Perindustrian (Depperindag), sementara Departemen Keuangan melakukan pembinaan Jasa Penilai hanya untuk pembinaan Jasa Penilai perorangan dan kerjasama (berdasarkan KMK Nomor 57/KMK.017/1996). Tahun 2004 Menperindag melimpahkan kewenangan pembinaan terhadap Jasa Penilai yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) kepada Departemen Keuangan. Selanjutnya, untuk menindaklanjuti pelimpahan tersebut, maka diterbitkanlah Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 406/KMK.06/2004 tentang Usaha Jasa Penilai berbentuk Perseroan Terbatas. Saat ini pembinaan Usaha Jasa Penilai berada di bawah Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP) Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan. Indarto menambahkan sampai saat ini pengaturan Jasa Penilai di Indonesia masih setingkat Keputusan Menteri Keuangan. Indonesia belum mempunyai Undang-Undang Penilaian, sedangkan negara lain misalnya Malaysia, telah mempunyai Undang-Undang Penilaian sejak tahun 1981. Saat ini Departemen Keuangan sedang merancang pengajuan RUU Penilaian. Selain itu, dalam hal klasifikasi perijinan Penilai masih bersifat umum (berdasarkan KMK Nomor 57). Departemen Keuangan akan melakukan revisi KMK tersebut yang antara lain isinya membagi klasifikasi Penilai terdiri dari Penilai Properti dan Penilai Bisnis. Saat ini Penilai yang telah terdaftar dengan klasifikasi Penilai Properti berjumlah 25 orang, Penilai Usaha berjumlah 7 orang, dan klasifikasi Penilai Properti dan Usaha 63 orang (data Bapepam-LK). Di samping itu terdapat Penilai Pemerintah yang bertugas di instansi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara dan Direktorat Jenderal Pajak. Diharapkan melalui event ini akan diperoleh sejumlah masukan dari para anggota asosiasi penilai (MAPPI dan GAPPI) serta para anggota asosiasi penilai di berbagai negara ASEAN sebagai referensi untuk perkembangan standar penilaian Indonesia.

Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2008