Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia berharap pemerintah Myanmar dapat bersikap lebih terbuka agar dunia internasional dapat mengetahui dengan tepat bantuan kemanusiaan yang dibutuhkan anggota ASEAN itu pasca dilanda Badai Nargis akhir pekan lalu. Pernyataan itu dikemukakan Jurubicara Departemen Luar Negeri, Kristiarto Soeryo Legowo, di Ruang Palapa, Gedung Deplu, Jakarta, Jumat, saat diminta komentarnya mengenai penolakan pemerintah Myanmar terkait keikutsertaan wartawan untuk meliput acara penyerahan bantuan pemerintah RI kepada Myanmar pada Kamis (8/5) lalu. "Kita sebenarnya mengharapkan agar pemerintah Myanmar dapat lebih terbuka, dengan adanya keterbukaan, maka kita bisa lebih tahu bantuan-bantuan apa yang dibutuhkan di lapangan sehingga bantuan dapat lebih tepat," katanya. Sementara itu pada Kamis (8/5) lalu, beberapa wartawan Indonesia dan koresponden media asing di Indonesia dilarang masuk ke Myanmar, dengan alasan situasi keamanan yang tidak kondusif di negara tersebut. Kementerian Koordinator Kesra mengirimkan tujuh wartawan foto dan televisi, yakni LKBN ANTARA, TVRI, Harian Umum Kompas, TVOne, Kantor Berita Perancis AFP dan jaringan televisi Kantor Berita Inggris Reuters, untuk meliput pengiriman bantuan kemanusiaan dari Pemerintah Indonesia kepada Pemerintah Myanmar. Namun, menjelang keberangkatan bantuan kemanusiaan pihak Kedutaan Myanmar di Indonesia memutuskan untuk membatalkan keberangkatan ketujuh jurnalis, karena pemerintah setempat tidak bisa menjamin keselamatan para pelaku media itu setibanya di Myanmar pasca bencana Topan Nargis akhir pekan silam. Akibatnya, ketujuh wartawan tersebut yang telah siap di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma hanya meliput kegiatan penyerahan bantuan kemanusiaan Indonesia ke Myanmar yang dipimpin langsung oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah. Junta Myanmar, yang mengimbau bantuan internasional untuk menanggulangi dampak topan Nargis, melarang wartawan asing memasuki negara itu dan mengusir seorang pewarta BBC untuk Asia, Andrew William Harding. Myanmar, yang diperintah junta militer sejak 1962, jarang mengizinkan wartawan asing memasuki negara itu dengan visa wartawan, dan hanya mengizinkan kantor berita China, Xinhua. Referendum Konstitusi Sementara itu terkait pelaksanaan referendum konstitusi baru yang akan dilakukan oleh pemerintah Myanmar pada 10 Mei 2008, pemerintah RI mengimbau agar pemerintah Myanmar lebih menfokuskan upayanya untuk penanganan bencana. "Untuk tahapan ini kami sampaikan bahwa akan sangat bijaksana jika pemerintah Myanmar mempertimbangkan untuk memberikan seluruh upaya bagi penanganan bencana," katanya. Sebagai bagian dari peta jalan menuju demokrasi, pemerintah Myanmar menjadwalkan referendum konstitusi pada 10 Mei 2008 dan pemilihan umum pada 2010. Pemerintah RI menyambut baik rencana itu karena inilah untuk pertama kalinya pemerintah Myanmar menetapkan tenggat waktu yang jelas. "Kita menyambut baik, namun kita sampaikan bahwa kita berharap proses tersebut dapat kredibel," kata Jubir Deplu RI. Pada awal pekan ini, Pemerintahan Myanmar mengatakan akan tetap melaksanakan referendum pada Sabtu (10/5) mendatang, sebagai perubahan konstitusi dalam rangka menuju pemilihan umum yang demokratis, walaupun negeri itu baru saja mengalami bencana alam "Pemerintah Myanmar telah mengumumkan bahwa referendum rancangan undang-undang akan dilaksanakan pada 10 Mei mendatang dan pemilihan umum Myanmar mendatang yang akan memakai sistem multi partai dan pesta demokrasi akan dilangsungkan pada 2010 sesuai dengan yang berlaku dalam konstitusi baru," demikian dilaporkan oleh harian the New Light of Myanmar sebagaimana dikutip AFP. Harian itu juga mengemukakan keterkejutan pemerintah Myanmar pada pernyataan yang dikeluarkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang meminta adanya jaminan proses referendum yang kredibel yang akan memastikan pemilu 2010 nanti akan berlangsung secara jujur dan adil. Para pejabat tinggi Myanmar mengatakan pemilu dua tahun mendatang itu akan berlangsung secara demokratis. (*)

Copyright © ANTARA 2008