Jakarta (ANTARA News) - Apa persamaan antara kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan alunan musik dangdut yang menyeret penikmatnya untuk melupakan kepenatan hidup sehari-hari? Amati dengan dua mata, dengar dengan dua telinga, ketika kucuran bensin mengisi tangki kendaraan bermotor, ada suara yang bertangga nada hampir sama, "seeerr...." Sementara, ketika musik dangdut mengalun, maka tangan kanan atau kiri para pendengar mengacung ke udara. Untuk mengiringi situasi hati para pendengar yang sedang tersihir oleh musik dangdut antar kampung (tarkam), maka sah saja penikmat lain mengeluarkan kata-kata, "seeerr...." Mereka tampil sebagai tifosi dangdut tarkam. Dan judul lagu yang biasanya didendangkan bernuansa pasrah, beriba atas nasib baik yang tak kunjung bersua. Refrain lagu-lagu dangdut umumnya menyabet dan menyandera pendengarnya untuk turut menaruh empati atas kandasnya cinta, atas karamnya sebungkah usaha. Kata-kata yang kerap meluncur, "aku tak berdaya...sudah suratan. Beginilah nasib, oh nasib." Klimaksnya, boleh saja para penikmat dangdut tarkam memesan tembang hasil garapan Maia Eksanty berjudul, Emang Gue Pikirin (EGP). Kalau refrain lagu itu tiba kepada kata-kata EGP, maka mereka berbarengan dapat saling bersahutan, "emang gue pikirin!" Malam pun semakin larut, nada-nada dangdut membasuh luka mereka yang telah seharian mencari sepiring nasi dan segelas air. Bersikap melankoli bukan sekolah yang tepat bagi murid yang menuntut ilmu di metropolitan. Hanya berselang satu hari setelah pemerintah memastikan kenaikan harga BBM, harga-harga sejumlah kebutuhan pokok merangkak naik. Sementara, pemerintah belum menentukan kapan harga BBM dikerek naik. Berbagai argumentasi dinaikkan, sama halnya ketika penikmat dangdut tarkam dibius oleh berbagai instrumen musik itu. Apa persamaan antara mengemukakan argumentasi dengan mendongkrak harga BBM? Keduanya sama-sama membuka Kotak Pandora! Dalam mitologi Yunani kuno, dikisahkan bahwa Yupiter menciptakan tokoh bernama Pandora, artinya seluruh anugerah. Pandora dikirim ke bumi dengan dibekali sebuah kotak yang tidak boleh dibuka dengan alasan apa pun. Tergoda oleh keinginan hatinya yang terus penasaran, Pandora ingkar janji. Akhirnya, ia membuka kotak itu dan sontak menjerit sambil mundur. Dari kotak itu mengepul asap asam berwarna hitam. Kotak itu tampak seolah-olah tidak memiliki dasar, karena - jangankan berkurang- asap itu semakin pekat dan mencekik pernapasan. Pada puncak ketakutan Pandora, yang dengan sia-sia berusaha menutup kembali kotak itu, terdengar ratap tangis, rintihan, dan suara bisik-bisik. Dalam kotak itu, Yupiter telah mengumpulkan semacam segala macam penderitaan, kebencian, cacat dan kelemahan serta berbagai penyakit. Setelah kotak Pandora terbuka, tersibak segala hal yang buruk, yang selama ini belum diketahui oleh manusia di bumi. Karena ulah Pandora, segala hal yang buruk dan yang jahat akhirnya menyebar ke seluruh dunia untuk selamanya. Hidup manusia yang mulanya membahagiakan sontak berujung nestapa. Kendati demikian, Yupiter tidak ingin mengumbar kebenciannya. Di tengah segala hal yang mengerikan itu, ia telah memasukkan sesuatu yang dapat mereaksi segala keburukan dan kejahatan. Yupiter memberi manusia kekuatan untuk melanjutkan hidup dengan berbekal harapan. Apakah kenaikan BBM dapat menumbuhkan harapan di tengah tajuk masa depan suram yang disingkat madesu? Jangan takut! Matinya si miskin seperti dikisahkan dalam buku karangan George Orwell masih menyisakan harapan. Sesedih apa pun kisah dalam buku berjudul "Mereka yang Tertindas" itu, ada pertanyaan yang menggelitik kisi-kisi kemanusiaan. Setidaknya lebih baik menyalakan satu lilin harapan, ketimbang mengutuk terus kegelapan. Orwell menulis, ketika seorang dokter disertai sejumlah mahasiswa calon dokter memeriksa seorang pasien yang nota bene orang yang tidak empunya, maka pertanyaan yang menyeruak bahwa pasien pun adalah makhluk. "Terasa sangat aneh, karena minat mereka mempelajari tugas-tugas mereka dan sekaligus terlihat kurangnya persepsi bahwa para pasien adalah makhluk manusia," tulis penulis Inggris itu. Apakah publik yang merasakan dampak kenaikan BBM dapat membajak di tengah tanah harapan? Syaratnya, ada proses konsientisasi (penyadaran) yang diintroduksi (diperkenalkan) oleh filsuf pendidikan dari Amerika Latin Paulo Freire. Ia meminta kepada publik untuk menyuburkan sikap kritis terhadap upaya untuk menyeragamkan, memobilisasi massa dan menggugat pendapat yang merepresi kebebasan berpikir apalagi kebebasan berpendapat dan bersuara. Menurut Freire, publik wajib membongkar segala wacana "kesadaran palsu" yang menempatkan publik (rakyat kecil) harus taat dan patuh karena tidak punya jati diri sendiri. Rakyat dianggap massa apung yang mudah ditekuk, dijadikan obyek, bahkan dianggap bodoh. Syair dari orkes dangdut mereka yang menganut revolusi gaya Freire yakni, "cukup sudah penderitaan ini. jangan lagi kau mengumbar janji." Dalam ranah tembang pop, d`Masiv tampil dengan judul "Cinta Ini Membunuhku". Dan kalau saja grup band itu tampil percaya diri, suatu ketika mereka akan mendendangkan lagu dengan tajuk "Demokrasi ini Membunuhku". Dan alat untuk meraih kesadaran itu yakni mata. Sekarang tinggal mendengar musik dangdut dengan menggunakan mata untuk mengamati perilaku kalangan birokrasi ketika menaikkan harga BBM. Kalau saja mata adalah cerminan hati, maka kata-kata adalah gambaran akal budi. Seorang yang menyatakan cintanya kepada buah hatinya, tidak akan saling memalingkan wajah. Kadangkala saling tatap memuat selaksa kata. Dan mata serta susunan aksara menentukan makna. Mendengar dengan menggunakan mata lebih menyeret perhatian mereka yang ingin melakukan revolusi akal sehat. Bagi budayawan Mudji Sutrisno, revolusi akal sehat hanya berjalan dan berdaya ketika rakyat bersikap kritis dan tidak membeo dan membebek. Akal sehat yang selama ini dininabobokan perlu dibangunkan. Caranya, berani berdebat dan berargumentasi dan tidak malas berpikir. Revolusi akal sehat melucuti akal-akalan dari kultur perbudakan. Revolusi akal sehat menuntut dari penguasa untuk menjelaskan alasan kenaikan BBM. Revolusi akal sehat belum cukup diberi gula-gula. Revolusi akal sehat menjebol tipu muslihat penguasa yang menghendaki rasionalitas publik mengalami tidur panjang. Revolusi akal sehat mendekonstruksi setiap argumen yang mengatasnamakan, "ini kecenderungan global". Sementara kotak Pandora mulai terbuka dengan sejumlah pidato yang dikumandangkan elite politik. Malahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memulainya dengan mengajukan sejumlah pertanyaan seputar besaran kenaikan BBM. "Kalau naik berapa dan komoditasnya apa saja. Apakah 20 persen, 25 persen dan 30 persen, serta mengapa sampai dengan angka itu. Juga instrumen apa saja yang mengikuti kebijakan itu," kata Presiden. Ia menegaskan bahwa pemerintah harus melakukan berbagai persiapan yang matang sebelum memutuskan kebijakan tentang harga BBM. "Dulu kitapun butuh dua sampai tiga minggu pada tahun 2005 sebelum memutuskan kenaikkan harga BBM. Jadi mesti kita siapkan sebelum hari H dan jam J kenaikkan harga BBM," katanya. "Mudah-mudahan tidak terlalu lama lagi sehingga `market` bisa kita berikan `insurance` bahwa `policy is correct` dan `timing is correct` dan tidak hanya menaikkan BBM tapi menjalankan instrumen mengurangi beban," katanya dalam pertemuan dengan sejumlah pimpinan media nasional di Istana Negara Jakarta. Pernyataan Presiden seakan membuka kotak Pandora dengan mengajukan pertanyaan, meski masih saja menggunakan kata-kata mudah-mudahan. Lain lagi gaya Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia langsung menjawab. "Kalau BBM nanti naik, tidak akan lebih dari 30 persen, supaya tidak memberatkan masyarakat". "Ini (kenaikan harga) sebenarnya mentransfer subsidi dari orang mampu ke orang tak mampu," tambahnya. Ketika ditanya apakah pemerintah sudah siap mengatasi aksi-aksi demo yang bakal terjadi jika ada kenaikan BBM, Wapres dengan jenaka mengatakan justru harus berhati-hati kalau demo soal ini. "Eh.. kalau demo berarti anda menghalangi rezeki orang tak mampu. Kalau demo berarti setuju tak berikan subsidi pada orang tak mampu. Jadi hati-hatilah kalau demo," kata Wapres yang disambut tawa. Apakah melakukan unjuk rasa untuk mempertanyakan kenaikan harga BBM sudah dapat dikategorikan sebagai pihak yang menghalangi rezeki orang tidak mampu? Bukankah revolusi akal sehat hanya berdaya ketika rakyat tidak membeo dan tidak membebek? Menurut Wapres, subsidi BBM saat ini lebih banyak dinikmati orang mampu yang banyak menggunakan mobil dan motor. Namun hasil kenaikan BBM itu dijanjikan akan dialihkan untuk diberikan pada orang yang kurang mampu melalui bantuan langsung tunai (BLT). Sementara, Badan Pusat Statistik (BPS) masih membarui data mengenai jumlah penduduk miskin. Pendataan dilancarkan saat pembagian kartu identifikasi penduduk miskin yang dilakukan oleh PT Pos Indonesia dengan dibantu aparat kelurahan/desa. Setelah itu, program BLT bisa segera diwujudkan. "Begitu kartu miskin untuk 19,1 juta rumah tangga miskin (RTM-red) selesai dibagi dan program BLT siap dilaksanakan, baru pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM," kata Kepala BPS, Rusman Heriawan. Saat ini pemerintah tetap menggunakan data kemiskinan berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2005 dengan jumlah penduduk miskin mencapai 19,1 juta RTM, sebagai basis data pelaksanaan BLT 2008 nanti. Padahal, pembaruan data terbilang penting mengingat mobilisasi penduduk miskin pun terjadi dalam periode tiga tahun ini. "Untuk meng-`update` data kemiskinan itu, kita butuh minimal tiga bulan. Namun kenaikan harga BBM ini sepertinya sulit ditahan lagi," jelasnya. Pengamat ekonomi dari Tim Indonesia Bangkit, Imam Sugema menyatakan ketidaksetujuannya pada program BLT yang akan dijalankan pemerintah sebagai kompensasi dari rencana kenaikan harga BBM bersubsidi yang segera akan diumumkan. "Kalau dulu BLT 2005-2006 berbau suap politik, BLT tahun 2008 sepertinya tidak jauh berbeda," katanya. BLT, jelasnya, hanya akan menghasilkan rakyat yang tidak kreatif, tidak dinamis, dan memiliki mental pengemis. Apakah langkah pemerintah melancarkan BLT tidak lain membuka Kotak Pandora? Kalau jawabannya, ya, maka BLT bernuansa kontra terhadap revolusi akal sehat. Kalau jawabnya tidak, maka kenaikan harga BBM berujung pada oase argumentatif. Ketika publik sedang menikmati dendang dangdut dengan mata, maka ada "sophia" (kebijakan) yang melintas bahwa masing-masing individu akan paling menyumbang kepada perbaikan sosial dengan secara rasional, mengejar apa yang dalam jangka panjang menjadi kepentingannya sendiri yang paling baik. "Kita tidak pernah tahu secara persis apa yang diinginkan dan dibutuhkan orang lain. Menjadikan orang lain sebagai obyek atau sasaran perbuatan karitatif, sama saja merendahkan martabatnya," tulis tokoh etika Robert G. Olson. Inilah revolusi akal budi yang dicita-dicitakan Freire, dan inilah kemampuan diri sendiri untuk tidak selalu menunjuk ke atas, tetapi mengarahkan telunjuk kepada diri sendiri seraya berucap, "Sudahkah elite politik menikmati denyut musik dangdut publik dengan menggunakan mata?" Atau memang saatnya melakukan revolusi akal sehat? (*)

Oleh Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008