Pontianak (ANTARA News) - Pemerintah membutuhkan payung hukum yang jelas untuk menentukan "nasib" kapal asing yang ditahan selain memberi efek jera terhadap pelaku juga menguntungkan negara. "Seperti di Australia, kapal nelayan Indonesia ditenggelamkan. Di Indonesia, hal itu masih dalam proses karena butuh payung hukum yang jelas," kata Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi di Pontianak, Sabtu. Ia mengatakan, usulan untuk menenggelamkan kapal nelayan asing muncul mungkin karena rasa kesal akibat pencurian yang merugikan negara dan nelayan. "Wacana ini muncul dari mana-mana," katanya. Ia menambahkan, untuk itu akan diusulkan revisi terhadap undang-undang dan aturan pemerintah yang terkait dengan kapal asing yang tertangkap mencuri ikan di perairan Indonesia. Ia sendiri lebih memilih memanfaatkan kapal nelayan asing yang ditangkap aparat karena mencuri ikan untuk sarana pendidikan di berbagai sekolah perikanan guna menciptakan pekerja sektor perikanan yang tangguh. "Setelah ada putusan pengadilan yang menyatakan kapal disita untuk negara dan diberikan ke DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan), untuk pendidikan," katanya. Sedangkan kalau dilelang, biasanya kembali ke pemilik dengan memanfaatkan orang Indonesia sebagai pembeli. Ia berharap, semua aparat hukum baik kejaksaan dan pengadilan memiliki jiwa nasionalisme. "Kalau merugikan negara, kita harus mengambil tindakan yang tegas dan berani untuk negara. Misalnya dengan menyita untuk negara," kata dia. Kapal asing yang disita juga dapat digunakan untuk membantu daerah dan nelayan setempat. Sementara terhadap nelayan asing yang masih ditahan, akan segera dideportasi. Saat ini DKP sudah berkoordinasi dengan kedutaan besar negara asal para nelayan asing yang masih ditahan. "Kecuali yang pro justicia," kata Freddy Numberi. Dari data FAO (Food and Agriculture Organization) memperkirakan kerugian Indonesia akibat pencurian ikan mencapai Rp30 triliun per tahun. Dengan estimasi tingkat kerugian sekitar 25 persen dari total potensi perikanan yang dimiliki Indonesia sebesar 1,6 juta ton per tahun.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008