Oleh Munawar Saman Makyanie Jakarta (ANTARA News) - Nasib Ahmadiyah di Indonesia mirip Baha`i di Mesir, sama-sama menghadapi fatwa yang mengharamkan aliran itu. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa larangan bagi Ahmadiyah, sementara itu Al-Azhar di Mesir juga telah menerbitkan fatwa serupa bagi Baha`i. Baha`i merupakan suatu kepercayaan yang didirikan di Iran pada pertengahan abad ke-19 oleh Mirza Hoseyn`Ali Nuri, yang dikenal sebagai "Baha` Ullah" (Keagungan Allah). Beberapa bagian peribadatan Baha`i mirip ajaran Islam kendati mereka tidak mempercayai Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir. Adapun Ahmadiyah adalah suatu kepercayaan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad di India pada akhir abad ke-19. Ajaran Baha`i dan Ahmadiyah tidak jauh beda, seperti memiliki masjid untuk beribadah. Selain itu, kedua pelopor ajaran itu --Mirza Hoseyn`Ali Nuri dan Mirza Ghulam Ahmad-- juga sama-sama mengklaim sebagai nabi utusan Allah. Baha`i mengklaim jumlah penganutnya mencapai lima juta orang di 191 negara, sementara Ahmadiyah mengklaim jumlah mereka lebih dari 100 juta orang di berbagai negara. Jumlah penganut Baha`i di Mesir saat ini berkisar 2.000 orang, dan jumlah Ahmadiyah di Indonesia diperkirakan mencapai 500.000 orang. Seperti Ahmadiyah di Indonesia, Baha`i di Mesir juga kerap menimbulkan perdebatan antara pemerintah dan para aktivis hak asasi manudian (HAM). Persoalannya, Ahmadiyah di Indonesia telah berbadan hukum sejak 1953, yaitu Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor JA 5/23/13 tertanggal 13 Maret 1953. Baha`i di Mesir sedang berjuang untuk memperoleh status sebagai salah satu agama resmi di negara itu, agar identitas agama mereka dapat dicantumkan di dalam kartu penduduk atau dokumen resmi lainnya. Kostitusi Mesir hanya mengakui tiga agama, yaitu Islam, Kristen dan Yahudi sebagai agama resmi negara. Kaum Baha`i telah mengajukan gugatan ke pengadilan untuk memperoleh status itu dan membatalkan fatwa haram dari Al-Azhar. Badan Fatwa Al-Azhar merupakan lembaga yang memiliki otoritas mengeluarkan fatwa untuk masalah-masalah yang bertalian dengan Islam, dan setiap fatwa Al-Azhar dijalankan oleh pemerintah. Pada April 2006, suatu pengadilan rendah di Kairo sempat memutuskan menerima tuntutan Baha`i dengan memberikan hak untuk mendaftarkan identitas mereka secara resmi. Keputusan itu merupakan jawaban atas tuntutan Hossam Ezzat Mahmoud dan istrinya untuk memberi hak bagi keluarga mereka guna mendaftarkan identitas diri sebagai penganut Baha`i. Organisasi-organisasi HAM menyambut keputusan itu sebagai kemenangan atas hak individual. Namun, keputusan itu dikecam keras oleh Al-Azhar dan kalangan Islam di negara itu, dan pemerintah memutuskan untuk mengajukan banding. Dan pada 17 Desember 2006, pengadilan tinggi Kairo membatalkan putusan pengadilan yang lebih rendah tersebut, dan menyatakan bahwa Baha`i tidak dapat diakui sebagai suatu agama, dan orang Islam yang menganut itu adalah murtad. Keputusan pengadilan tinggi ini sesuai dengan fatwa Al-Azhar sebelumnya bahwa para penganut Baha`i telah murtad atau keluar dari Islam. Perwakilan Baha`i di PBB Dani Dugal, menyesalkan keputusan itu dan menilainya sebagai ancaman bagi semua komunitas agama di dunia. Penganut Baha`i mengalami masalah dalam dokumen-dokumen yang harus mencantumkan kolom agama. Pada 16 Maret 2008 lalu, misalnya, Kholuod Hafez Abdou, siswi berusia 17 tahun, dilarang mengikuti ujian akhir sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) karena kartu identitasnya mencantumkan agama Baha`i. Suratkabar "Al-Badeel", melaporkan bahwa gadis itu telah mendambakan akan memasuki perguruan tinggi pada September tahun 2008 ini setelah ujian akhirnya SLTA, namun dambaannya pupus sudah. Awalnya, Kholuod telah mencantumkan "Islam" di kolom dokumen kartu pelajarnya. Namun, pihak administrasi diinformasikan bahwa ayah pelajar itu penganut Baha`i. "Jika Anda bukan seorang Islam, saya tidak dapat berbuat apa-apa dan putri Anda tidak akan diizinkan mengikuti ujian akhir," kata kepala sekolah itu kepada ayah siswi tersebut. Celakanya, sejumlah penganut Baha`i disinyalir mencantumkan "Islam" dalam di kartu penduduk dan dokumen resmi mereka agar memudahkan bergerak seperti memperoleh paspor untuk bepergian ke luar negeri dan kebutuhan lainnya. Menanggapi sinyalemen itu, pada 29 Januari 2008 lalu, pengadilan Mesir memutuskan untuk memberi izin mencantumkan di kolom agama dengan kata "aakhar (agama lain)" pada kartu identitas bagi penganut Baha`i. Namun, para pakar hukum mempersoalkan keputusan pengadilan itu karena dianggap bertentangan dengan konstitusi. Di Indonesia, Ahmadiyah juga "dimurtadkan" MUI. Kaum Ahmadiyah dinilai sesat, karenanya mereka dilarang memakai atribut-atribut Islam. Beberapa kalangan menyarankan agar mereka membentuk agama baru, tapi mereka tetap mengaku sebagai ahli "Sunnah wal Jamaah". Alhasil, kasus Ahmadiyah di Indonesia dan Baha`i di Mesir memang runyam. (*)

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008