Bandarlampung (ANTARA News) - Kawasan hutan bakau (mangrove) di sepanjang pesisir Provinsi Lampung dipastikan telah banyak beralih fungsi setelah ditebangi, terutama berubah menjadi kawasan pertambakan tradisional maupun modern, selain menjadi lahan pertanian dan permukiman warga. Kondisi hutan bakau di Provinsi Lampung itu, menimbulkan kecemasan kalangan pencinta dan pemerhati lingkungan hidup, di Bandarlampung, Senin, sehingga berupaya bergiat dan mendorong agar dilakukan pemulihan, perlindungan dan pelestarian kawasan hutan bakau yang masih tersisa serta merehabilitasi mangrove yang telah rusak. Direktur LSM Mitra Bentala Lampung, Herza Yulianto mengingatkan, keberadaan hutan bakau yang semakin terkikis di daerahnya itu, kalau dibiarkan saja akan menimbulkan ancaman bencana lingkungan dan dampak buruk bagi masyarakat sekitarnya. Ancaman erosi dan abrasi pantai serta intrusi air laut (air asin) ke daratan serta minimnya perlindungan kawasan pantai, tambak maupun permukiman dan fasilitas umum dari bahaya gelombang pasang laut (tsunami) maupun bencana alam lainnya yang bersumberkan dari laut, akan semakin besar mengintai. Kondisi lingkungan hidup kawasan pulau dan daratan pesisir yang bakaunya sudah habis pun tidak lagi mendukung kestabilan ekologis di dalamnya. Keprihatinan serupa diungkapkan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Lampung, Mukri Friatna, sehingga WALHI bersama sejumlah lembaga dan Pemda setempat akan berupaya berbarengan dengan warga pesisir untuk kembali peduli pada keberadaan dan kelestarian hutan bakau di daerahnya itu. WALHI Lampung mengupayakan adanya kawasan rehabilitasi atau penanaman kembali hutan bakau di sepanjang pesisir pantai di Lampung, antara di Kabupaten Lampung Timur yang dinilai paling parah mengalami kerusakan kawasan mangrovenya. "Tapi upaya itu tak akan berarti banyak kalau masyarakat setempat dan aparat pemerintah maupun jajaran pemda tidak ikut aktif mendukungnya," kata Mukri pula. Mantan Direktur Eksekutif LSM WATALA yang kini aktif di Heifer International di Lampung, Rama Zakaria, mengingatkan pula, program penyelamatan pesisir dan rehabilitasi hutan bakau itu harus dibarengi dengan upaya bersungguh-sungguh meningkatkan pemahaman akan kelestarian hutan bakau itu kepada masyarakat sekitarnya. Karena itu, dia menyarankan agar program penyelamatan bakau itu diikuti dengan program peningkatan layanan pendidikan, kesehatan dan pengembangan ekonomi masyarakat pesisir dimaksud. Heifer International di Lampung telah mencoba mendorong program terpadu penyelamatan bakau di pesisir sejumlah tempat di Lampung, dengan dukungan pengembangan ekonomi masyarakat setempat melalui pola budidaya ternak kambing. Kondisi hutan mangrove di Lampung itu, diantaranya di Pantai Timur yang semula memiliki seluas 20.000 ha, kini diperkirakan hanya tersisa tidak lebih dari 2.000 ha saja. Begitu pula kondisi hutan bakau di pesisir wilayah Lampung lainnya, termasuk di pesisir pulau-pulau kecil tersebar di seluruh perairan Lampung, juga tidak luput dari ancaman. Diperkirakan sekitar 90 persen areal hutan bakau yang rusak itu, telah beralih fungsi menjadi tambak, dan sebagian kecil lainnya telah berubah menjadi lahan pertanian dan permukiman warga setempat. Studi ilmiah menyebutkan, kawasan hutan bakau itu antara lain berfungsi sebagai peredam gelombang laut dan angin badai, pelindung dari abrasi dan erosi serta intrusi air laut, penahan lumpur, serta perangkap sedimen. Hutan bakau juga menjadi daerah asuhan (nursery grounds), tempat mencari makanan (feeding grounds), dan pemijahan (spawning grounds), selain sebagai pemasok larva bagi berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya. Pengelolaan hutan mangrove juga dapat dimanfaatkan kayunya untuk konstruksi, kayu bakar, arang dan bahan baku kertas (pulp).(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008