Depok, (ANTARA News) - Pengamat masalah Timur Tengah dari Universitas Indonesia (UI), Broto Wardoyo mengatakan pemerintah tidak fokus untuk menyelesaikan masalah Palestina. "Indonesia hanya konsisten menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina dan senantiasa menolak pendudukan Israel pada berbagai kesempatan," kata Broto kepada ANTARA, di Depok, Rabu. Menurut dia, Indonesia seharusnya membantu penyelesaian masalah dengan memilih untuk memfokuskan diri pada masalah intra-Palestina atau Palestina-Israel. Kedua hal tersebut memerlukan perlakuan yang berbeda. "Jika mengikuti ide internasional, Indonesia berfokus pada masalah Palestina-Israel," katanya. Langkah yang bisa ditempuh adalah dengan membuka kontak dengan semua pemain dalam proses perdamaian. Ide mengenai konsorsium perdamaian menjadi satu-satunya pilihan, kecuali jika Indonesia mengembangkan model "back-channel" seperti yang dijalankan Norwegia di "Oslo process". Broto mengemukakan, masalah mendasar dalam kebijakan Indonesia adalah pada dialog antara publik (Islam) dengan pemerintah yang senantiasa sekuler. "Tanpa ada penyelesaian dalam benturan kepentingan domestik ini, maka semua upaya akan senantiasa sulit," katanya. "Indonesia pernah berusaha menjembatani dialog antara Hamas dengan Fatah namun semua tidak berlanjut," kata Broto yang pernah mengenyam pendidikan di Ben-Gurion University of the Negev, Israel. Pendekatan kepada Israel dibutuhkan untuk membangun misi sebagai penyampai pesan. "Dalam kerangka ini, memahami 'Jewish cause' menjadi faktor penting.Memahami mereka akan membuat lebih mudah untuk mendapatkan solusi alternatif," katanya. Menurut Broto, yang paling memungkinkan bagi Indonesia adalah berbagi peran dengan AS, Rusia, UE, dan negara-negara Arab sebagai mediator bersama. "Dengan begitu, Indonesia bisa meminimalkan kedekatan dengan Israel dan tidak melukai kebutuhan Palestina untuk merdeka," katanya. Tiga Masalah Broto mengatakan, dukungan Indonesia terhadap Palestina dan proses perdamaian harus dinyatakan sebagai manifestasi anti-penjajahan. Di sisi lain, publik, terutama masyarakat Islam, menghendaki solidaritas sebagai saudara dalam masalah tersebut. Polemik domestik ini, lanjut dia, membuat pemerintah mengalami kesulitan dalam merumuskan strategi keterlibatan. "Terlibat dalam konflik artinya memiliki koneksi dengan kedua pihak, sedangkan publik Indonesia belum siap, atau sepertinya tidak pernah disiapkan, untuk bisa menerima kenyataan bahwa koneksi --tanpa berarti ubungan diplomatik-- adalah hal mendasar dalam keterlibatan Indonesia," katanya. Dia mengemukakan tekanan publik terlalu kuat dan membuat pemerintahan semua presiden a tidak mau mengambil resiko. Kesulitan merumuskan strategi keterlibatan membuat Indonesia tidak pernah tegas dalam proses perdamaian. "Apakah ingin menjadi mediator, fasilitator, atau kelompok mediator. Kejelasan mengenai hal ini harus terlebih dahulu dirumuskan sebelum melangkah lebih jauh," katanya. Dia mengingatkan, penengah tidak berarti netral sepenuhnya. "Setiap pemain dalam proses perdamaian memiliki kepentingan, dan jika kepentingan Indonesia didefinisikan sebagai mewujudkan negara Palestina, itupun tidak salah," katanya. Dosen kajian Timur Tengah pada Jurusan Hubungan Internasional FISIP-UI tersebut menyebutkan perumusan peran tersebut akan berkaitan dengan sumber daya Indonesia. "Ini berarti menyangkut kapabilitas finansial --mengingat proses perdamaian bukan bisnis murah, kapabilitas diplomatik, ataupun kemampuan mempengaruhi aktor-aktor internasional lain," katanya. Broto mengusulkan keterlibatan Indonesia dirumuskan berdasarkan hal-hal tersebut. Setelah rumusan itu terbentuk, Indonesia bisa memasuki tahap selanjutnya yaitu memikirkan strategi yang keterlibatan penyelesaian konflik tersebut.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008