Kuala Lumpur (ANTARA News) - Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo punya "mimpi" menyulap kawasan Kuningan, Jakarta Selatan menjadi pusat belanja senyaman Orchad Road Singapura dan semodern Bukit Bintang Malaysia. Fauzi Bowo mungkin saja iri pada daya pikat dua kawasan tersohor negeri jiran itu, yang setiap tahun mendulang jutaan dolar dari turis yang saban hari singgah. Orchad Road memang menjadi "landmark" kawasan belanja di Singapura bahkan dunia. Di sana berderet pusat perbelanjaan, dari yang murah hingga mahal, lengkap dengan hotel dan cafe. Jalan dan pedestrian di kawasan itu dibuat lebar, memanjakan para pebelanja. Malaysia tidak mau kalah. Di negeri serumpun itu terdapat "Bukit Bintang", sebuah kawasan yang memadukan pertokoan mewah, pusat jajan eksklusif, pusat eletronik nan modern namun murah. Pusat pertokoan paling terkenal, Sungei Wang (Sungai Uang) dan Low Yat, juga terletak di kawasan itu. Kedua pertokoan itu sebenarnya mirip Mangga Dua atau pusat elektronik Glodok Jakarta. Orchad Road memang sudah lama menjadi "legenda" belanja di Singapura. Meskipun sebenarnya Singapura juga telah mengembangkan kawasan belanja lainnya seperti Bugis Junction dan Suntec City Mall, namun Orchad Road tetap saja menjadi favorit para turis. Orchad Road memang sangat memanjakan pengunjung. Pusat belanja yang lengkap, restoran nan nyaman dan cafe romantis dan "cozy", bertebaran di jalan super sibuk itu. Turis tak perlu malu hanya "cuci mata" tanpa membeli, dan masuk restoran atau nongkrong di cafe, jika letih. Pelancong di kawasan belanja itu juga dimudahkan oleh sistem transportasi yang baik yakni LRT (Light Rail Transit), bus dan taksi yang nyaman. Bukit Bintang setali tiga uang. Kawasan itu kini dijejali oleh pusat belanja seperti Sungei Wang, Berjaya Times, dan kini Pavilion Kuala Lumpur. Di kawasan itu juga terdapat berbagai hotel murah, sedang hingga mewah. Dewan Bandaraya Kuala Lumpur membangun pedestrian yang lebar dan nyaman untuk para pelancong. Di kawasan pedestrian itu juga dibangun cafe-cafe modern seperti Kenny Rogers, Starbuck, dan Secret Reciepe. Jika orang lelah, bisa nongkrong di cafe-cafe sambil cuci mata melihat lalu lalang turis dari berbagai negara. Di Bukit Bintang juga terdapat kawasan restoran China, restoran Arab lengkap dengan "Shisha"-nya. "Shisha dan restoran China itulah yang membius turis Cina dan Timur Tengah ke Bukit Bintang." Turis China merasa mudah menemukan gaya hidup mereka di Bukit Bintang, apalagi kawasan itu memang terkenal sebagai kawasan etnis berkulit kuning itu. Turis Arab senang suasana Melayu sambil bersantap makanan "asli" Timur Tengah. Alhasil jika malam menjelang banyak seliweran turis Timur Tengah di Bukit Bintang. Kawasan Bukit Bintang juga didukung oleh sistem transportasi massal monorail yang tidak ada di Singapura. Jalur monorail memang dirancang menghubungkan pusat-pusat belanja, perkantoran dan pemukiman dalam kota Kuala Lumpur. Jalur monorail memiliki titik persinggungan dengan jalur angkutan massal lainnya seperti LRT Star dan Putra serta KTM (Komuter) memungkinkan pengguna beralih moda transportasi. Semua moda itu beroperasi hingga jam 12 malam. Di setiap stasiun juga terdapat jaringan bus yang siap mengantarkan penumpang ke kawasan perumahan mereka. Restoran dan cafe di kawasan Bukit Bintang, sebagian besar beroperasi 24 jam. Apalagi restoran atau kedai makan India Muslim, yang dinamakan "kedai mama". Semua kedai mama beroperasi 24 jam. Hanya mal yang beroperasi hingga jam 9 malam saja. Ini yang menyebabkan Bukit Bintang jauh lebih hidup dibandingkan Orchad Road. Hiburan Setiap malam, di kawasan Bukit Bintang ada hiburan musik (live) gratis mulai dari jam 21.00 hingga jam 24.00. Tepat di perempatan lampu merah Bukit Bintang, ada atraksi "breakdance" gratis oleh anak-anak muda Kuala Lumpur. Tapi mereka juga mengedarkan topi untuk menerima sumbangan dari penonton. Selain itu, semua kedai mama dan cafe-cafe menyediakan TV berlangganan Astro. Jika tidak dihibur dengan konser musik dan "breakdance", para turis juga dihibur dengan acara TV Astro, baik itu pertandingan sepak bola, basket hingga "smackdown". Hampir setiap sudut Bukit Bintang ada pijak refleksi. Jika turis penat para tukang pijat profesional itu siap melayani mereka. Jadi hiburan di kawasan Bukit Bintang bukan hanya belanja, makan tapi juga pijat sehat. Kerajaan Malaysia sangat mengawasi restoran, cafe dan kedai makanan. Mulai dari harga dan pasokan bahan pokok makanan seperti minyak goreng, beras, tepung terigu, susu, hingga gas serta kebersihannya. Para konsumen dan pengelola restoran dan kedai makanan merasa terjamin dalam berbisnis karena stabilnya harga. Kerajaan Malaysia bahkan mengontrol kebersihan restoran dan kedai makanan. Baru-baru ini, sebagai contoh, Dinas Kesehatan Negeri Sembilan, menutup 29 restoran hanya karena dapurnya kotor, agak tercampur sampah makanan dengan bahan makanan yang mau dimasak, dan para juru masak memiliki kuku yang panjang. Kementerian Sumber Manusia Malaysia juga menyediakan pelatihan-pelatihan gratis bagi para pekerja restoran agar toilet atau kamar mandi umum bersih. Di kawasan Bukit Bintang, banyak polisi dan intel. Mereka mengawasi dan menjaga kawasan wisata itu. Setiap beberapa menit lewat patroli polisi, sehingga turis merasa aman. Malaysia memang sangat mengutamakan keamanan. Suasana Kultural Lalu bagaimana menyulap kawasan Kuningan agar seperti Orchad Roat atau Bukit Bintang? Sudah jelas, Jakarta dan juga kawasan Kuningan tidak memiliki angkutan transportasi massal seperti monorail, LRT, atau subway seperti Kuala Lumpur dan Singapura. Lalu apa yang menjadi daya tarik turis ke Kuningan? Dunia dan turis internasional kagum dengan Bali, Yogyakarta, Borobudur dan Candi Prambanan. Mereka kagum dengan kesenian dan budaya Indonesia. Ada baiknya, desain kawasan Kuningan harus menghadirkan dan memiliki nilai-nilai kultural dan seni dari Bali, Jawa, atau Sumatera. Karena itu yang dimiliki Indonesia, dan tidak dimiliki Singapura dan Malaysia. Suasana alam dan tradisional harus hadir dalam kawasan Kuningan. Jika mau bersaing harga barang elektronik dengan Kuala Lumpur dan Singapura, mungkin tidak terlalu beda. Jadi perlu ada suasana yang berbeda. Alangkah cantiknya bila turis yang bersantap di "Starbuck", "McDonald", "KFC" tapi disuguhi suasana tradisional, "ndeso", dan kultural yang tidak mereka dapati di Kuala Lumpur dan Singapura. Kafe-kafe di kawasan Bukit Bintang atapnya memiliki desain tenda padang pasir atau berbau desain Arab atau Timur Tengah, yang tidak dijumpai di Singapura. Bagaimana jika, suasana kawasan Kuningan bisa menghadirkan suasana budaya Bhineka Tunggal Ika yang selama ini menjadi modal daya tarik turis ke Indonesia. (*)

Oleh Oleh Adi Lazuardi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008