Jakarta (ANTARA News) - Penyair kelahiran Bukittinggi, Taufiq Ismail, adalah salah satu sastrawan yang prihatin dengan kondisi pengajaran sastra di sekolah dan berusaha melakukan sesuatu untuk memperbaikinya. Pendapat itu dikemukakan oleh Prof Dr Suminto A Sayuti, guru besar di Universitas Negeri Yogyakarta, dalam seminar nasional bertajuk "Taufiq Ismail, 55 tahun dalam sastra Indonesia" yang digelar di Jakarta, Sabtu. Ia menjelaskan, sekitar akhir tahun 1960-an, sastrawan yang oleh HB Jassin dikategorikan sebagai penyair angkatan `66 itu, telah mencoba berpikir strategis untuk mengatasi kemerosotan pengajaran sastra di sekolah dan hampir 30 tahun kemudian mulai merealisasikan sebagian hasil pemikirannya. Akhir tahun 1990-an, Taufiq dan kawan-kawannya melakukan survei tentang pengajaran sastra secara deskriptif kuantitatif untuk menjawab pertanyaan, "Benarkah kini bangsa kita telah rabun membaca dan lumpuh?" Jawaban atas pertanyaan itu, tersirat dari fakta yang dikatakan Taufiq dalam pengantar buku "Mengantar Sastra ke Tengah Siswa" yang diterbitkan Yayasan Indonesia dan Majalah Sastra Horison tahun 2006. Dalam pengantar buku tersebut, penyair yang kini hampir semua rambutnya telah memutih itu mengatakan,"saat ini wajib baca siswa 0 (nol) buku yang tidak pula disediakan di sekolah dan menulis karangan wajib rata-rata sekali setahun setiap menjelang kenaikan atau tamat sekolah, kecuali untuk beberapa sekolah yang sedikit sekali jumlahnya." Berangkat hasil survei itu, Taufiq dan teman-temannya di Majalah Sastra Horison kemudian mulai berusaha menggerakkan sastra di sekolah, yang menurut Prof. Suminto, dimuarakan pada apresiasi sastra sebagai tujuan utama pendidikan dan pengajaran sastra. Upaya itu antara lain dilakukan dengan membuka sisipan "Kakilangit" di Majalah Horison yang dikhususkan sebagai media untuk siswa sekolah menengah/madrasah aliyah dan siswa kejuruan beserta para guru sejak 1996. Sejak tahun 1999, Majalah Horison bersama Departemen Pendidikan Nasional juga rutin menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra (MMAS) yang diikuti para guru bahasa dan sastra Indonesia di seluruh provinsi di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, NTT, dan NTB. Dengan bantuan the Ford Foundation, kedua lembaga itu juga menyelenggarakan program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB) dengan mendatangkan para sastrawan untuk membacakan karya mereka di depan siswa serta berdialog dengan mereka. Hingga kini, kegiatan yang sudah dilakukan di ratusan sekolah di Indonesia itu juga masih berjalan. Di tingkat perguruan tinggi juga dilakukan kegiatan yang hampir serupa yakni Seniman Bicara, Mahasiswa Membaca (SBMM). Sastrawan didatangkan ke sembilan kampus di Indonesia, khususnya yang melahirkan guru bahasa dan sastra Indonesia, untuk membacakan karya mereka dan berdialog dengan mahasiswa. Lomba mengulas karya sastra dan menulis cerita pendek juga sejak tahun 2001 rutin diselenggarakan dan beberapa pemenangnya kini sudah dikenal sebagai sastrawan dan menerbitkan buku. Selain itu, setelah melihat dampak kegiatan SBSB terhadap peningkatan kualitas naskah yang dikirim siswa ke Kakilangit, Kakilangit Sastra Pelajar kemudian diterbitkan.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008