Bandarlampung (ANTARA News) - Cita-cita luhur Budi Utomo serta para pendiri bangsa untuk memajukan bangsa dan menyejahterakan rakyat, belum lagi tercapai. Kini setelah satu abad Kebangkitan Nasional didengungkan, Indonesia justru berada dalam kondisi serba prihatin. Namun di suasana prihatin itu slogan Indonesia Bangkit digaungkan. "Indonesia Bisa!" begitu pekik elemen masyarakat dan pejabat pemerintah. Sayangnya pekik "Indonesia Bisa!" harus berhadapan dengan harga bahan bakar minyak (BBM) yang hampir pasti akan dinaikkan pemerintah dalam waktu dekat. Meski Presiden dan para menteri telah meminta "permakluman", namun reaksi keras rencana kenaikan harga BBM itu masih terus bergulir. Gelombang unjukrasa mahasiswa terjadi dimana-mana. Alih-alih memberikan sumbang saran untuk membantu kondisi serba sulit, sejumlah elite dan politisi justru malah makin terpancing terus memojokkan pemerintah. Komentar pedas dari politisi seperti Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, Wiranto, dan beberapa tokoh nasional lainnya, kerap menghiasi ruang publik di media massa. Isu politis pun bergulir, diantaranya mendorong kemunculan pemimpin baru sebagai alternatif pada pilpres 2009 itu. Kebangkitan nasional dan reformasi, digerakkan oleh motor yang sama; kalangan terpelajar, cerdik cendekia, mahasiswa. Mereka lah pegiat demokrasi. Harapan mereka selalu sama, setelah kepemimpinan nasional berganti, Indonesia akan memasuki gerbang baru kehidupan yang lebih baik, maju dan sejahtera. Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Soetrisno Bachir, secara terbuka mengajak partai-partai dan semua pihak yang mengaku reformis, untuk mendorong tampilnya kepemimpinan baru di negeri ini. "Cita-cita pendiri bangsa untuk menyejahterakan rakyat dan memajukan bangsa kita, sampai sekarang belum tercapai, antara lain karena kepemimpinan nasional yang berjalan setelah reformasi bergulir tidak efektif," ujar Soetrisno, saat hadir dalam sebuah orasi politik di Bandarlampung, belum lama ini. Dia pun menyatakan kesiapan PAN dapat menggandeng Partai Keadilan Sejahtera (PKS) maupun pihak lain, untuk bisa bersama-sama mendorong kepemimpinan baru. Ia menyebutkan kemiskinan dan keterbelakangan yang masih dialami jutaan penduduk Indonesia, harus segera diatasi oleh pemimpin yang lebih merakyat, tegas, dan berani melakukan terobosan. Korupsi Tetap Marak Menurut anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal DKI Jakarta, Marwan Batubara, salah satu penyebab krisis yang membuat bangsa ini terus terpuruk sampai sekarang, diantaranya akibat praktik korupsi, kolusi dan nepotisme masih marak. "Korupsi itu membuat bangsa ini sulit untuk bangkit, padahal bangsa lain yang semula lebih terpuruk sekarang sudah bisa pulih dan menjadi lebih maju," ujar mantan petinggi di PT Indosat itu. Anggota DPR RI dari PKS, Suripto menilai kegagalan penuntasan agenda reformasi yang disuarakan mahasiswa dan kaum prodemokrasi adalah, karena pasca-Soeharto jatuh, justru terjadi konsolidasi dari kekuatan lama. Konsolidasi itu menimbulkan adanya kompromi politik, diantara kepentingan statusquo untuk mempertahankan kekuasaan bersama anasir lama Orde Baru, dengan kelompok-kelompok baru yang semula idealis tapi akhirnya menjadi kompromis dan tidak tegas lagi. Akibatnya agenda reformasi, terutama pemberantasan KKN dan pembersihan birokrasi pemerintahan untuk mencapai "clean and good governance", tidak berjalan dengan baik. "Ternyata sekarang ini, korupsi malah semakin marak dilakukan jajaran birokrasi dari pusat sampai ke daerah-daerah," kata Suripto lagi. Penegak hukum dan lembaga yudikatif maupun eksekutif dan legislatif juga "setali tiga uang", cenderung tidak berdaya menghadapi kompromi itu, sehingga pemberantasan KKN belum terwujud. Padahal hampir semua orang menyadari bahwa korupsi itu memiskinkan negeri ini dan menyengsarakan rakyat serta membuat bangsa Indonesia "dilecehkan" serta hanya akan dijadikan "boneka" oleh kekuatan asing. Anggota DPD Marwan Batubara menyebutkan penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sampai sekarang tidak pernah tuntas. Akibatnya beban pembayaran bunga obligasi dana BLBI itu harus ditanggung negara dan masyarakat selama 30-an tahun ke depan. "Jangankan mau bangkit, yang ada semakin banyak rakyat miskin," kata Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Lampung (Unila), Slamet Riyadi pula. Warga Bandarlampung pun berkeluh kesah, karena setiap kali pemerintah mengalami masalah dengan anggaran, selalu saja harus rakyat banyak yang menanggungnya. "Kenapa harus selalu kami yang menanggung, apakah tidak ada jalan lain selain menaikkan harga BBM serta mengurangi subsidi pendidikan, dan kesehatan," kata Warman, salah satu warga Bandarlampung. Kenaikan BBM Sulit Dihindari Menurut Dubes Khusus PBB bagi Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs), Erna Witoelar, kebijakan menaikkan harga BBM dan menekan subsidi bagi rakyat itu, merupakan langkah yang tidak bisa dihindari. Kondisi global ekonomi dan sosial politik dunia mengharuskan itu, termasuk keharusan menekan dan berhemat dalam penggunaan energi yang semakin langka dan mahal, kata Erna. Dia justru mengingatkan, agar pemerintah bersama masyarakat bisa mengantisipasi dampak kenaikan harga BBM dan penurunan subsidi itu secara bersama-sama dalam satu langkah keterpaduan, dengan menyiapkan pengamanan yang diperlukan berupa jaring pengaman sosial. "Kondisnya sudah darurat, ibaratnya orang mau jatuh, bagaimana caranya tidak sampai mati, sehingga perlu disiapkan jaring pengaman di bawahnya," cetus Erna. Pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi rakyat miskin dan korban PHK mesti ditindaklanjuti dengan langkah dan kebijakan terpadu lainnya. "Selanjutnya rakyat miskin dan korban PHK harus dibantu bisa mendapatkan penghasilan lagi, sehingga akan tetap bertahan dan saat krisis berakhir segera bangkit kembali," ujar Erna. Hasil evaluasi pelaksanaan delapan target Tujuan Pembangunan Milenium, khususnya di Indonesia dinilai masih berada di jalur yang benar ("on the track"). Ia juga menepiskan tudingan kalangan aktivis dan berbagai pihak bahwa kebijakan pemerintah Indonesia saat ini lebih banyak "didikte" oleh pihak dan kekuatan asing, termasuk negara-negara kuat di dunia, seperti AS. "Masalahnya tidak hitam putih seperti itu. Apakah benar ada kekuatan negara atau perusahaan dan perorangan di dunia ini yang bisa melakukan semua itu," tanya Erna. AS dan Presiden Bush, menurut dia, tidaklah sekuat itu untuk "menekan" pemerintah mengikuti mau mereka. Dia membenarkan, globalisasi memang membuat semua negara dan bangsa serta masyarakat dunia berada dalam kondisi saling bergantung satu sama lain, sehingga terjadi pengaruh mempengaruhi di dalamnya yang tidak mungkin dihindari lagi. "Tapi `hantu` kapitalisme dan globalisasi itu tidaklah benar-benar menakutkan," kata dia. Menurut Erna, dengan memperkuat ketahanan masyarakat Indonesia yang sebenarnya sudah "terbiasa" menghadapi kondisi krisis, peluang untuk keluar dari kondisi sulit semakin terbuka lebar. Ia optimis Indonesia akan bangkit dari keterpurukan. (*)

Oleh Oleh Budisantoso Budiman
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008