Jakarta, (ANTARA News) - Berempati kepada kondisi Indonesia, ini yang dilakoni sastrawan Remy Sylado ketika memamerkan lima lukisan terbaru di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, dengan mengeksplorasi makna ketubuhan di atas kanvas. Dalam pameran untuk memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional (22-31/5) itu, Remy memamerkan lukisan yang semuanya didominasi gambar perempuan dengan rambut lurus atau bergelombang, baju warna-warni dan berbunga-bunga. Semuanya tengah tersenyum, tapi tidak ada yang memiliki hidung, seperti yang terlihat pada lukisan berjudul "Tuti Tati Titi Teti". Karyanya bersanding dengan sejumlah pelukis dan budayawan lainnya seperti Lian Sahar, Sapardi Djoko Damono, Syahnagra Ismail, Yoes Rizal, Winarti, Patrick, dan Iconk. Imbauannya bernas, karena lukisan menawarkan media keterusterangan. "Sudah kalian perhatikan semua lukisannya? Mereka sangat indah, tapi tidak punya hidung. Mereka tidak mau mencium kebusukan dan keterpurukan bangsa ini, jadi biarlah mereka tanpa hidung, agar mereka tetap indah" kata Remy kepada beberapa wartawan. Ia mengaku prihatin dengan kondisi Indonesia saat ini. Sebagian besar pejabat dan politisi mulai lupa bahwa bangsa ini mendapatkan kemerdekaan dengan perjuangan dan kerja keras. Mereka berbuat sekehendak hati memanfaatkan jabatannya. "Sekarang ini tiap hari kita melihat kebusukan misalnya demonstrasi di mana-mana memprotes kebijakan-kebijakan pemerintah, keadaan Indonesia yang menurut sebagian orang sudah bagus sebenarnya itu luarnya saja," kata pria kelahiran Makassar, 12 Juli 1945. Remy mencontohkan kehidupan masyarakat di pinggiran Jakarta, orang-orang yang tinggal di gubug kardus di balik gedung-gedung bertingkat yang megah, serta keadaan ekonomi rakyat yang semakin terpuruk menunjukkan potret Indonesia yang sesungguhnya. "Coba lihat anggota DPR di depan rakyat kelihatan baik dan menganggap dirinya suci, padahal di balik itu perilakunya sangat buruk, melakukan korupsi dan mengkhianati rakyat. Itulah realitanya," ujarnya. Makna 100 Tahun Kebangkitan Nasional, bagi Remy, adalah saatnya merenungkan kembali dan meresapi bahwa kemerdekaan diraih para pejuang lewat perjuangan panjang. Darah dan air mata (pada para pejuang) yang tumpah di negeri Ibu Pertiwi jangan sampai sia-sia akibat perilaku buruk generasi penerus. Penghargaan pada para pejuang mendorong kita lebih berhati-hati dalam bersikap, menjadi manusia dan bangsa bermartabat, selalu berbuat yang terbaik untuk kepentingan bangsa, dan bukan untuk kepentingan pribadi saja. Ini jagat keprihatinan seorang Remy Silado setelah melihat dan merefleksikan kondisi negeri ini yang kian terkoyak. Seluruhnya ada dalam bahasa lukisan. (*)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008