Padang (ANTARA News) - Peluh lelaki berusia 50-an tahun itu tidak berhenti mengucur dari sekujur tubuhnya. Namun kedua tangannya terus mengayun mencipta "irama" linggis yang berpacu dentingan bebatuan. Irama itu terus mengalun memecah kesunyian bukit dengan ketinggian sekitar 50 meter. Seakan tidak menghiraukan terik matahari yang terus membakar tubuh hitam legamnya, Hasan Basri, nama lelaki itu terus mengayunkan linggis dan martil untuk memecah gundukan batu kapur pada kawasan pebukitan Bukit Bakaluak. Batu kapur di bukit Bakaluak memang keras bukan main, karena bukan batu kapur biasa. Batu kapur Bukit Bakaluak adalah batu kapur kualitas bagus untuk membuat marmer buatan atau pondasi jalan dan jembatan. Hasan Basri harus mengayun martilnya dengan kekuatan penuh agar gunung batu kapur itu terbelah. Sebelum menjadi pemecah batu, Hasan Basri adalah buruh pada pabrik pengolahan batu kapur di daerah itu. Sejak tiga tahun terakhir Hasan Basri beralih menjadi pemecah batu kapur atau lebih dikenal "penakik batu" oleh masyarakat sekitarnya di Kenagarian Tanjuang Lolo, Kabupaten Sijunjung. Karena bangkrut akhirnya pabrik itu tutup dan dirinya beralih menjadi penakik batu. Sembari beristirahat melepas lelah dan menunggu hari sedikit lebih teduh lelaki paruh baya itu menceritakan bahwa ia menjadi penakik batu karena tuntutan ekonomi. "Habis tidak ada pilihan lain, saya butuh makan, jadi terpaksa harus memecah batu ini," katanya. Kenagarian Tanjuang Lolo, Kabupaten Sijunjung, Sumbar, merupakan lokasi kaya potensi batu kapur dan marmer. Masyarakat di sekitar kawasan tersebut memanfaatkan untuk menafkahi keluarga. Menurut dia, puluhan warga bekerja memecah batu kapur itu mulai dari pukul 08.00 hingga 16.00, hanya sesekali beristirahat ketika matahari tepat di atas ubun-ubun. Satu atau dua jam kemudian, ia mulai bekerja lagi meski panas matahari makin menyengat dan memakar tubuh yang sudah hitam mengilat itu. Selain Hasan Basri, juga ada delapan warga lain yang juga memecah batu. Pekerjaan panakik batu sangat beresiko tinggi. Betapa tidak, tanpa pengaman yang cukup para penakik batu yang berusia antara 20-50 tahun itu harus bergelantungan di tebing bukit, sembari memecah batu. Tidak ada tali pengaman atau tempat berpijak yang cukup permanen bagi mereka. Namun tanpa takut sedikitpun tangan-tangan kekar itu terus mengayunkan linggis untuk memecah gundukan batu di bukit kapur itu. Mereka tidak hanya bisa jatuh jika pegangannya lepas, tapi juga bisa tertimpa reruntuhan batu perbukitan yang sesekali turun. "Terkadang ada juga batu-batuan yang sesekali jatuh menimpa," katanya. Namun, bagi Hasan Basri resiko itu sebanding dengan upah yang diperolehnya. Ia mengaku hasil jerih payah sebagai penakik batu lumayan. Kalau sedang beruntung hasil yang diperoleh bisa mencapai Rp70.000 - 150.000 per hari. Pengumpul menghargai batu kapur Hasan Basri Rp70 hingga Rp75 ribu per kubiknya, dan dalam sehari ia mampu mengumpulkan satu sampai dua kubik. "Terkadang untung-untungan juga, terkadang dalam dua hari bahkan tidak ada batu yang berhasil dipecahkan, jadi tak bisa dijual," katanya. Teknik memecah batu kapur cukup sederhana. Bagian batu yang cukup keras itu terlebih dahulu dibakar dengan kayu api hingga menjadi rapuh, selanjutnya baru dipecah dengan martil dan linggis. Satu gundukan batu bisa dipecah oleh satu dan dua warga. Batu yang berhasil dikumpulkan warga itu dikumpulkan dan dijual pada pedagang pengumpul yang datang langsung ke lokasi perbukitan itu. "Dua kali seminggu selalu ada truk yang datang membeli batu yang dikumpulkan masyarakat itu, dan membawanya ke sejumlah daerah di Sumbar, hingga Provinsi Riau dan Jambi. Batu kapur itu selain menjadi bahan dasar marmer juga biasanya digunakan untuk pondasi jalan, jembatan dan bangunan lainnya. Dari hasil menjual batu kapur itu, Hasan Basri kini mampu menghidupi enam orang anaknya. "Kalau mau berusaha, pasti bisa hidup meski harus makan batu," katanya sambil berkelakar. Kaya Potensi Bupati Sijunjung, Darius Apan, menyebutkan, daerahnya kaya potensi batu kapur dan marmer, terutama terdapat di Kenagarian Bukit Lolo, Batu Gadang, Angek, Batu Manjulur, dan Batang Lawas. Selain itu juga terdapat potensi tambang lain yakni, dolomit, oker, granit dan andesi. Menurut Darius Apan, selama ini potensi tersebut baru sebagian kecil yang diolah secara modern. "Potensi itu hanya dimanfaatkan masyarakat secara tradisional, mereka mengambil sendiri dengan alat sederhana untuk menjadi bahan bangunan, dan juga dijual," katanya. Darius Apan, menyebutkan, pihaknya kini mengundang investor untuk menggarap potensi pertambangan di daerah itu. "Kami beri kemudahan bagi investor untuk berinvestasi," demikian Darius Apan. (*)

Oleh Oleh Abna Hidayati dan Siri An
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008